Mobitekno – Kehadiran teknologi blockchain dan aset digital yang kini sedang berkembang pesat –tak hanya di dunia, namun juga di Indonesia—membuat sejumlah kalangan sibuk untuk mempelajari dan ikut terlibat dalam bisnis penambangan mata uang digital yang bisa dikatakan menggiurkan ini.
Meski teknologi blockchain masih tergolong awal di Indonesia, tetapi diprediksi memiliki potensi ekonomi digital bernilai 130 miliar USD pada tahun 2020. Bila kita melihat apa yang telah diterapkan di negara lain, mulai dari gaya hidup hingga sistem politik mereka terlihat berubah drastis. Tidak menutup kemungkinan Indonesia juga akan merasakan hal yang sama.
Teknologi blockchain ini juga diulas dalam sebuah kelas jurnalistik yang digelar oleh salah satu agency di Indonesia, Kennedy Voice Berliner dengan menggaet narasumber berkompeten di bidangnya, yaitu Muhammad Deivito Dunggio sebagai Executive Director di Asosisasi Blockchain Indonesia. Kepada rekan media, Deivito atau yang akrab disapa ‘Oham’ mengambil isu pencucian uang dengan bitcoin yang marak terjadi beberapa tahun belakangan. Namun sebelum masuk ke inti materi, Oham terlebih dahulu memperkenalkan apa itu blockchain dan bagaimana aset kripto diperdagangkan.
Dalam presentasinya, Oham menegaskan bahwa blockchain merupakan suatu teknologi yang dapat mengirimkan data, nilai maupun informasi secara instan tanpa perantara. “Blockchain ini bersifat publik, tidak bisa dimanipulasi dan desentralisasi,” kata Oham di Jakarta, Jumat (10/5).
Cara aset kripto diperdagangkan itu ada dua, pertama melalui Exchange/Pasar Fisik Perdagangan Aset Kripto (Centralized). Sebuah platform yang mempertemukan pembeli dan penjual Aset Kripto, biasanya berbasis website atau aplikasi, menerapkan KYC dan AML layaknya industri perbankan, transaksi dapat diawasi, dan mengikuti regulasi yang berlaku.
“Lalu yang kedua ada transaksi Peer-to-peer (decentralized), biasanya transaksi terjadi langsung antara pembeli dan penjual, menggunakan aplikasi pesan singkat atau komunikasi telepon dan diselesaikan menggunakan transfer bank/cash on delivery,” tambahnya.
Transaksi didalam teknologi blockchain akan terekam (tidak bisa dihapus), yang tercatat hanya wallet pengirim dan wallet penerima (data pseudonymous). Sebetulnya agak sulit untuk melacak siapa yang mengirim maupun menerima suatu transaksi, karena hanya menampilkan angka dan nomor (lihat blockexplorer.com), namun bila memiliki banyak waktu data transaksi tersebut sangat bisa dilacak.
“Pada akhirnya, teknologi ini memudahkan kepolisian untuk menelusuri tindak kejahatan. Tinggal lihat dua hal: ID pengguna dan kegiatan transaksinya,” pungkas Oham.
Lalu, sebagian bad players mengira bahwa kegiatan mereka dengan mencuci aset kripto (bitcoin) itu tidak terekam. Itu salah besar. Transaksi tanpa perantara yang sebenarnya akan meninggalkan jejak transaksi dari alamat-alamat yang digunakan (sangat detail hingga ke nomer bitcoin yang digunakan) didalam jaringan blockchain. Justru, jejak transaksi tersebut menjadi alat bantu yang dapat digunakan aparat untuk menegakkan hukum.
Tags: aset kripto, Asosiasi Blockchain Indonesia, Bitcoin, Oham, teknologi blockchain