October 3, 2016

Google Berbagi Resep Atasi Lonjakan Ekstrem Pengguna Pokemon Go pada Google Cloud

Penulis: Iwan Ramos Siallagan
Google Berbagi Resep Atasi Lonjakan Ekstrem Pengguna Pokemon Go pada Google Cloud 

MOBITEKNO – Pokémon Go, game mobile berbasis lokasi dan AR (augmented reality) sempat mencapai puncak kepopuleran pada pertengahan Juli 2016 lalu (sekitar 45 juta pengguna harian). Kini, secara perlahan para pemainnya dari seluruh dunia mulai kehilangan minat memainkan game buatan Niantic tersebut.

Menurut catatan Apptopia, pengguna harian (daily active user) game ini mulai menurun hingga di level 30 juta pengguna pada Agustus 2016 lalu. Animo yang menurun ini juga sedikit banyak dipengaruhi oleh keputusan Niantic untuk melacak dan emblokir para pemain Pokémon Go yang berbuat curang, termasuk para botter.

Namun, Niantic tidak terlalu merisaukan indikasi penurunan ini. Mereka masih meyakini pemain Pokémon Go loyalnya di seluruh dunia akan tetap antusias mencari berbagai ‘monster kecil’ tersebut. Niantic justru lebih merisaukan jika ada gangguan teknis, seperti kelebihan beban di infrastruktur jaringannya seperti yang pernah terjadi di awal-awal kehadiran Pokémon Go.

Berbicara mengenai gangguan teknis akibat kelebihan beban, Niantic dan Google sebagai penyedia infrastruktur Pokémon Go melalui platformnya, Google Cloud, punya sedikit cerita bagaimana dahsyatnya lonjakan lalu lintas data (traffic) di awal peluncuran Pokémon Go.

Terjadinya ketidakstabilan server, seperti yang banyak diduga, dikonfirmasi oleh Google disebabkan oleh traffic yang sangat tinggi hingga di atas ambang batas traffic yang dapat diantisipasi oleh server. 

Sebelum game Pokémon Go diluncurkan, Niantic dan Google telah menetapkan dua target (skenario) traffic, target yang mungkin terjadi (original launch target) dan target terburuk (worst case scenario). Target terburuk ditetapkan 5x lebih tinggi dari target yang mungkin terjadi (target estimasi).

""

Fakta di lapangan, traffic yang terjadi mencapai 10 kali dari target terburuk atau 50 kali dari target traffic yang diestimasi Niantic. Kejadian yang tidak diperkirakan ini bahkan terjadi dalam 15 menit setelah Pokémon Go dirilis di Australia dan Selandia Baru. Sudah bisa ditebak, banyak pemain pun harus menerima berbagai konsekuensi gangguan akibat server menjadi super sibuk.

Kondisi awal kehadiran Pokémon Go bisa berlangsung lebih buruk lagi jika tim Customer Reliability Engineering (CRE) dari Google tidak turun tangan. CRE adalah tim teknis Google baru yang untuk pertama kali diminta bantuan Niantic dalam rangka persiapan peluncuran Pokémon Go di Amerika Serikat dan Jepang.

Alur pengembangan (application logic) Pokémon Go berbasis pada Google Container Engine (GKE) yang didukung project open-source Kubernetes (container cluster manager). Dengan metode pengembangan ini, Niantic bisa lebih fokus dalam mengaplikasikan perubahan langsung (live change) untuk pengguna/pemain Pokémon Go dan memperlakukannya layaknya seperti layanan (service) yang secara kontinyu disempurnakan. 

Google menganalogikan hal ini seperti mengganti mesin pesawat saat pesawat sedang terbang. Di sini, CRE dan Niantic meg-upgrade container GKE Pokémon Go sehingga ribuan node ekstra bisa ditambahkan pada container cluster. Ini dilakukan Niantic menjelang peluncurannya di Jepang tanpa harus menggangu pemain Pokémon Go di negara lain yang sudah memainkannya selama ini.

Saat upgrade, tim Niantic dan Google sepakat mengganti Network Load Balancer dengan HTTP/S Load Balancer yang lebih baru dan canggih. HTTP/S Load Balancer sebagai sistem global yang dirancang untuk HTTPS traffic, menawarkan keunggulan, seperti kontrol yang lebih luas, koneksi ke pengguna lebih cepat, dan throughput total yang lebih tinggi.

Ini membuatnya lebih cocok diaplikasikan untuk jumlah pengguna dan jenis traffic yang ada pada game Pokémon Go. Keputusan peralihan ini terbukti benar, seprti ini terlihat dari jumah pengguna Pokémon Go yang terdaftar di Jepang tiga kali lipat lebih banyak dari pengguna di di AS.

 

Tags: , , , , ,


COMMENTS