Mobitekno – Aset kripto Bitcoin tampaknya bisa mengalami ledakan harga di akhir tahun 2020 ini. Oleh sebab itu, ini bisa menjadi fenomena yang luar biasa bagi dunia cryptocurency. Di akhir November saja, dunia dikejutkan dengan ledakan harga aset kripto Bitcoin yang mampu menembus level US$ 19.319. Ini terjadi pada tanggal 25 Novembe 2020 di sore hari. Angka ini menandakan aset kripto tersebut hampir menyentuh titik tertinggi kembali yang pernah dicapai pada 17 desember 2017, yaitu di level US$ 20.089.
Kenaikan level aset kripto Bitcoin ini ternyata tidak disangka-sangka. Apalagi jika balik ke bulan Mare 2020 kemarin. Harga Bitcoin sempat mencapai titik rendah, yaitu hingga US$ 3.600 per Bitcinnya. Walaupun satu bulan berikutnya harganya kembali meningkat dua kali lipat hingga US$ 7.000 per Bitcoin.
“Jika dibandingkan April 2020, berarti harga Bitcoin di 25 November ini meningkat hingga 250%. Bisa dibayangkan tentunya profit yang dipetik investor jika membeli Bitcoin pada April awal tahun ini, maka investasinya kini telah berlipat 2,5 kali hanya dalam tempo setengah tahun saja,” ujar Pang Xue Kai, co-founder & CEO Tokocrypto, platform pedagang aset kripto terpercaya dan terdepan di Indonesia.
“Rally harga Bitcoin ini pun diyakini berbagai pihak di dalam dan luar negeri akan terus berlanjut ke depannya. Sejumlah faktor yang menjadi bahan bakar melesatnya harga Bitcoin pun diungkapkan pria muda tersebut. Di antaranya peristiwa halving Bitcoin yang memasuki fase ketiga pada 12 Mei 2020 lalu.” lanjut pria yang akrab disapa Kai ini.
Halving Bitcoin
Halving atau halvening Bitcoin sendiri adalah proses pengurangan pasokan Bitcoin. Hal ini terkait dengan keterbatasan jumlah Bitcoin yang hanya sebanyak 21 juta Bitcoin. Karena itu, pencipta Bitcoin, Satoshi Nakamoto membuat protokol untuk memangkas imbalan bagi para penambang sebesar 50% setiap 210 ribu blok, atau kurang lebih setiap 4 tahun. Adapun halving pertama terjadi 2012, yang kedua pada 2016, dan terakhir pada Mei 2020 lalu.
Sejarah juga mencatat, beberapa waktu setelah proses halving, harga Bitcoin selalu meroket. Pada fase halving pertama pada November 2012, harga Bitcoin melejit 9.600 persen lebih, dari US$ 12 menjadi US$1.160 per November 2013, atau setahun setelah halving. Pun demikian pada halving kedua pada Juli 2016. Harga 1 BTC saat itu sekitar US$600. Setelah halving, harga Bitcoin kembali meroket, bahkan memecahkan rekor sepanjang masa hingga mencapai US$ 20.000 pada Desember 2017, atau naik 3 ribu persen lebih. “Karena itu tak mengherankan, kita melihat sejarah kembali berulang saat ini. Pada saat halving ketiga pada Mei 2020 lalu, harga Bitcoin ada di angka US$ 8.500 per BTC. Namun kini, 6 bulan setelah halving, harganya tembus US$ 19.000 pada Rabu 25 November kemarin, atau meningkat 220% lebih,” Kai menjelaskan
Melihat kenaikan harga Bitcoin yang ‘hanya’ di angka ratusan persen usai halving ketiga ini, maka tidak mengherankan banyak analis yang memperkirakan harga Bitcoin akan terus naik. Bahkan mereka memprediksi dapat menembus US$ 318.000 pada akhir 2021, atau naik 3.700%. Ini seperti halnya fenomena kenaikan harga ribuan persen pada peristiwa halving kedua.
Terlepas dari faktor halving, peristiwa lain yang dianggap turut melejitkan harga Bitcoin saat in terjadi di Negeri Paman Sam. Pada Juli lalu, The Office of The Comptroller of the Currency (OCC) alias Kantor Pengawas Mata Uang Amerika Serikat mengizinkan perbankan di AS untuk memegang asset kripto. Hal ini lantas memicu kenaikan permintaan terhadap berbagai aset kripto, seperti Bitcoin, khususnya di Amerika Serikat.
Selanjutnya, angin segar terakhir yang memungkinkan perluasan penggunaan asset kripto secara masif datang dari PayPal, penguasa perantara pembayaran digital lintas negara. Pada 23 Oktober 2020 lalu, PayPal mendeklarasikan bahwa 346 juta penggunanya bisa membeli, menjual dan menyimpan aset kripto pada platformnya. Tak pelak hal ini memicu kenaikan permintaan BTC yang mendorong kenaikan harganya melewati US$ 12.950 per BTC pada akhir Oktober 2020 lalu.
Terpengaruh Mata Uang Kripto Lainnya
Fenomena meningkatnya harga Bitcoin juga ternyata diiringi kenaikan harga mata uang kripto lainnya seperti Ethereum (ETH), Ripple (XRP) dan Binance Coin (BNB). Analis JP Morgan Nikolaos Panigirtzoglou dalam wawancara dengan media ternama asal Inggris The Guardian pada 17 November lalu menyebut, kenaikan harga berbagai aset kripto lainnya tak lepas dari pengaruh krisis akibat pandemi Covid-19.
Krisis kali ini, kata analis tersebut, rupanya memicu pergeseran pola investasi jangka panjang para investor. Krisis ini, ditambah dengan pelemahan harga emas selama empat bulan terakhir dari US$ 2.072 per troy ounce di Agustus 2020 lalu, menjadi US$ 1.800 per troy ounce pada November, telah memicu para investor untuk memasukkan asset kripto dalam portofolio investasi jangka panjang mereka. “Krisis ini,” kata Nikolaos Panigirtzoglou kepada The Guardian, “telah memicu peninjauan kembali atas nilai Bitcoin sebagai mata uang alternatif, sekaligus sebagai alternatif investasi dari emas,” urainya.
Berbagai faktor di atas tak pelak telah meningkatkan kepercayaan publik terhadap berbagai aset kripto. “Kepercayaan public terhadap Bitcoin pun mulai pulih setelah market crash pada awal 2018,” ujar Kai. Karena itu, menurut Kai sekarang adalah saat yang paling tepat untuk mulai berinvestasi dan juga terlibat dalam trading aset kripto.
Karena itu Kai percaya, bahwa saat ini adalah waktu yang paling tepat bagi investor untuk menjadikan asset kripto sebagai lahan investasi baru maupun menambah portfolio yang telah ada.
“Kita tentu tidak mau ketinggalan gerbong lagi untuk kesekian kalinya untuk dapat turut memetik keuntungan dari investasi sekaligus perdagangan asset kripto. Kami di Tokocrypto pun terus melakukan peningkatan keamanan sekaligus berbagai fitur di platform kami agar dapat terus menjadi pusat perdagangan asset kripto terpercaya di Indonesia,” tutup Kai.
Tags: Bitcon, cryptocurrency, Harga Bitcoin, Kripto, Pang Xue Kai