
Mobitekno – Dinamika perdagangan global di tengah perang dagang Amerika Serikat dan China kembali terjadi. Terbaru dan paling dianggap berdampak bagi banyak negara adalah pengumuman tarif resiprokal oleh Presiden AS saat ini, Donald Trump terhadap berbagai produk impor dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Wacana tarif resiprokal ini memunculkan tanda tanya besar dari banyak pihak di mana pun berada. Salah satunya dari kalangan penggemar smartphone Apple iPhone yang menjadi salah satu produk kebanggaan AS. Apakah iPhone 16 terbaru yang sempat tertunda dipasarkan di Indonesia masih mampu menggoda pengguna setianya di pasar tanah air jika harganya sangat mungkin melonjak naik tajam?
Indonesia dengan demografi anak generasi Milenial hingga Z yang tinggi dan melek teknologi tentu menjadi pasar menarik bagi Apple. Meski perwakilan resmi Apple di Indonesia sebenarnya ‘kurang jelas’, setiap momen peluncuran model iPhone baru selalu disambut antusias oleh konsumen lokal. Terbukti dengan adanya antrean panjang di toko hingga hiruk-pikuk di media sosial.
Dampak tarif resiprokal ke industri elektronik
Tarif resiprokal yang diberlakukan Presiden Trump terhadap produk China berpotensi memicu kenaikan harga ponsel dan komponen elektronik di Indonesia, karena banyak produsen global seperti Apple dan Xiaomi masih bergantung pada manufaktur di China.
Hal ini bisa menyebabkan harga jual ponsel di pasar Indonesia ikut naik, terutama jika distributor harus menyesuaikan harga untuk menutupi biaya impor yang lebih tinggi. Di sisi lain, ketegangan dagang ini juga menimbulkan risiko gangguan distribusi dan pasokan barang.
Namun, situasi ini juga dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi asing di sektor manufaktur elektronik. Perusahaan global yang ingin menghindari tarif tinggi mungkin akan mulai memindahkan sebagian proses produksi atau R&D ke negara seperti Indonesia, yang telah memiliki regulasi TKDN sebagai insentif tambahan.
Kehadiran Apple yang mulai membangun fasilitas R&D lokal merupakan contoh awal dari pergeseran ini. Dampaknya, industri elektronik nasional bisa mendapatkan dorongan signifikan, termasuk penciptaan lapangan kerja dan transfer teknologi.
Selain itu, merek lokal seperti Advan dan produk non-Tiongkok dapat mengambil keuntungan dari kondisi ini dengan menawarkan alternatif yang lebih terjangkau. Apabila dikelola dengan baik, gejolak tarif global justru dapat menjadi momen strategis untuk memperkuat posisi Indonesia di rantai pasok elektronik dunia.
Harga iPhone 16 baru bisa sangat mahal?
Tarif sebesar 32% yang dikabarkan akan diterapkan pada barang impor dari Indonesia ke AS, ditambah ketergantungan rantai pasok iPhone pada manufaktur di Tiongkok (yang juga kena tarif lebih besar), berpotensi memicu efek berantai. Harga iPhone 16 Pro Max, misalnya, dapat meroket hingga Rp 38 juta jika beban tarif dibebankan penuh ke konsumen. Angka yang mungkin sukar diterima dengan positif di pasar, bahkan untuk penggemar Apple fanatik di Indonesia sekalipun.
Di tengah situasi ini, iPhone 16 dengan segala kecanggihan dan brandingnya yang eksklusif mungkin akan membuat Apple perlu berfikir keras untuk menjualnya. Harga yang terlampau tinggi akan jadi penghalang besar. Konsumen pasti akan mempertimbangkan kembali dan bertanya, apakah harganya sepadan dengan kecanggihan atau gengsi yang didapatkan?

Jangankan iPhone 16, model lama seperti iPhone 15 atau 14 yang sudah hadir lebih dulu dan bisa jadi pilihan yang lebih realistis juga bakal ikutan naik djika autran tarif diterapkan, meski kenaikannya mungkin tidak sedrastis model terbaru.
Apple mungkin tinggal berharap pada daya tarik iPhone lainnya, seperti nilai yang ditawarkan, kebutuhan pengguna, dan faktor lain di luar harga. Apabila 16 jadi terlalu tinggi, banyak konsumen Indonesia yang biasanya kritis kemungkinan akan melirik opsi lain di luar ekosistem Apple.
Pasar smartphone tanah air sudah cukup sesak
Pasar smartphone di tanah air selama ini sudah cukup sesak dengan banyak merek, dengan kata lain persaingan pasar sudah sangat sengit. Merek-merek Android menawarkan perangkat flagship dengan spesifikasi top dan harga yang jauh lebih masuk akal. Dalam situasi tarif tinggi, tak heran kalau konsumen mulai mempertimbangkan ponsel lain yang bisa memberikan pengalaman serupa—orang mungkin lebih baik—tanpa bikin kantong jebol.
Belum lagi jika diperhitungkan pasar ponsel bekas (second) yang mungkin akan meningkat karena daya beli yang menurun. iPhone second dalam kondisi baik mungkin akan menjadi solusi bagi konsumen yang ngotot ingin menggunakan iPhone tapi dengan harga lebih wajar. Tren ini sudah ada di Indonesia, dan kenaikan harga iPhone baru bisa makin menguatkan daya tarik pasar sekunder.
Strategi Apple masih akan ditunggu ke depan. Akankah Apple akan menanggung sebagian biaya tarif demi mempertahankan pasar Indonesia, atau malah pasrah dengan menaikkan harga dan membebani konsumen? Langkah yang diambil bakal menentukan nasib penjualan dan citra iPhone di mata pengguna lokal.
Ancaman tarif resiprokal ala Trump bisa membuka babak baru dalam pertarungan smartphone di Indonesia. iPhone 16 atau seri terdahulu memang masih punya modal kuat di pasar, seperti merek prestisius, ekosistem kuat dari Apple, dan teknologi yang canggi.
Namun, harga membumbung bisa jadi kendala besar Apple di pasar. Konsumen Indonesia akan dihadapkan pada dilema, apakah akan tetap mengejar iPhone impian meski harganya gila-gilaan, atau beralih ke alternatif yang lebih hemat tanpa banyak kompromi.
Tags: Apple, Donald Trump, Indonesia, iPhone, iPhone 16, pasar, ponsel, Smartphone, tarrif resiprokal