Mobitekno – Kehadiran 4G membuat ekosistem DNA (device, network, application) semakin berkembang di Indonesia. Hal itu menyebabkan meningkatnya konsumsi data bagi para pengguna smartphone. Konsumsi data menunjukan peningkatan yang signifikan di Indonesia.
Menurut data analisis Ericsson dari App Annie 2018, rata-rata konsumsi data seluler per bulan di Indonesia menunjukkan peningkatan. Persentase pengguna yang mengonsumsi lebih dari 10GB data per bulan telah meningkat dari 12% pada bulan Oktober 2017 menjadi 26,8% pada bulan Oktober 2018. Peningkatan terbesar konsumsi data seluler adalah pada penggunaan aplikasi media sosial seperti WhatsApp (+153%), YouTube (+111%), Instagram (+41%), dan Facebook (30%). Selain lebih banyak penggunaan, konten video juga merupakan pendorong utama konsumsi data di Indonesia.
Namun dibalik lonjakan konsumsi data saat ini ternyata pertumbuhan industri seluler di Indonesia sesungguhnya tidak seiring sejalan. Tengok saja, hingga semester pertama 2018, kinerja operator terus melorot. Bahkan sudah mengalami “negative growth” baik dari sisi pendapatan (-12,3%) dan juga EBITDA (-24,3%). Bahkan industri telekomunikasi Indonesia pun diproyeksi tumbuh negatif 6,4% pada 2018.
Penurunan ini sebenarnya terbilang cepat. Pasalnya, pada 2016, industri seluler masih tumbuh sebesar 10%. Namun rendahnya tarif data, tidak bisa mengimbangi turunnya layanan suara dan SMS. Layanan basis itu semakin kurang diminati karena pelanggan beralih ke layanan OTT. Alhasil, pertumbuhan menciut menjadi 9% di akhir 2017.
Gambaran perkembangan industri telekomusikasi diatas merupakan poin penting yang diungkapkan dalam acara Selular Business Forum: Meneropong Wajah Industri Telekomunikasi 2019 dengan mengusung tema “Mencari Ruang Pertumbuhan di Tengah Ketatnya Iklim Kompetisi” yang diselenggarakan oleh Selular.ID, di Jakarta, Kamis (17/1).
Dari beberapa hasil pemaparan narasumber mengungkapkan bahwa tumbuhnya konsumsi data masyarakat yang mengakses layanan OTT ini pun dianggap sebagai beban industri, karena harga paket internet yang terlalu murah.
Rendahnya tarif data yang dibarengi dengan dampak dari kebijakan registrasi pra bayar, dan kondisi ekonomi makro yang tak kondusif, seperti kurs rupiah yang masih tertekan terhadap dollar pun membuat operator menutup 2018 dengan kinerja yang kurang menggembirakan.
Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) mencatat, rata-rata penggunaan data pada 2014 hanya 0,3GB per bulan. Angka itu tumbuh menjadi 3,5GB per bulan pada 2018. Tahun ini, estimasi konsumsi data di Indonesia mencapai 4,8GB dan meningkat terus menjadi 6GB pada 2021.
“Harga layanan data Indonesia yang termurah di dunia. Hanya sedikit di atas India,” ujar Ketua ATSI Ririek Adriansyah. Padahal, untuk memenuhi permintaan layanan data yang naik 3,5 kali lipat dalam lima tahun ke depan perlu tambahan modal.
“Kami perlu investasi untuk menambah kapasitas,” ujar Ririek.
Dalam kesempatan yang sama, Kristiono, Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) juga menyebutkan, bahwa harga layanan data di Indonesia justru menurun dari Rp 1 per kilobita pada 2010 menjadi Rp 0,015 per KB pada 2018.
“Penurunan harga mencapai 40% per Megabita (MB) inilah yang jadi masalahnya,” jelas Kristiono.
Sementara itu, murahnya tarif layanan data ini justru menguntungkan perusahaan digital yang penggunaan produknya lebih banyak menggunakan kuota data. Peningkatan konsusmsi data bagi para pengguna smartphone yang disebabkan karena semakin banyaknya layanan OTT, di sisi lain akan sangat menguntungkan bagi industri digital, seperti di industri e-commerce.
Menurutnya, e-commerce yang tumbuh sangat pesat, namun disisi lain industri telekomunikasi yang menjadi infrastrukturnya justru menjadi menurun, karena tak seimbangnya harga atau tarif paket data yang digunakannya.
Antara pertumbuhan e-commmerce dan industri telekomunikasi bagaikan benalu yang menempel di tanaman. Benalunya hidup subur, namun tanaman yang ditumpanginya menjadi semakin merana. Sehingga pada akhirnya hal itu akan menyebabkan pertumbuhan industri telekomunikasi yang negatif.
Jadi menurut Kristiono, dilema yang kontradiktif tersebut memerlukan berbagai solusi yang inovatif dari industri telekomunikasi Indonesia, seperti pengembangan pasar B2B yang masih menjanjikan.
Tags: Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia, Industri Telekomunikasi Indonesia, konsumsi data, MASTEL