MOBITEKNO – Disruption dan digitalisasi telah menjadi hal normal yang baru dan prioritas bagi banyak perusahaan secara global, dengan Asia Pasifik (APAC) memimpin dunia dalam memajukan transformasi digital. Bahkan, sebuah studi menemukan bahwa lebih dari setengah perusahaan-perusahaan APAC sudah memiliki strategi formal untuk mendorong transformasi digital.
Beberapa tahun terakhir, perusahaan-perusahaan lokal dan multinasional yang beroperasi di Indonesia juga semakin getol mengoptimalkan penggunaan teknologi untuk mendukung bisnis yang mereka jalankan, salah satunya pemanfaatan solusi Internet of Things (IoT). Dan ini berdampak pada meningkatnya permintaan atas layanan TI yang andal.
Bagian besar dari kesuksesan transformasi digital sebuah bisnis bergantung pada penyelarasan inovasi TI dan strategi bisnis. Namun, cukup banyak organisasi dengan tujuan dan keputusan teknologi yang masih jauh dari keselarasan. Di lingkungan bisnis yang bergerak cepat saat ini, para pemimpin bisnis menuntut inovasi yang lebih cepat.
Di sisi lain, tim IT yang ada di sejumlah perusahaan juga menghadapi tekanan yang signifikan untuk mengubah departemen mereka agar dapat membantu para pemimpin bisnis memanfaatkan perubahan pasar yang begitu dinamis. Tak hanya itu, mereka juga dituntut untuk menjadikan perusahaan tersebut tetap unggul dalam persaingan.
"Ketidaksinambungan terjadi apabila pemimpin bisnis tidak melibatkan rekan-rekan TI mereka ketika melakukan investasi atau keputusan terkait teknologi. Bagi banyak orang, TI masih dianggap sebagai fungsi pendukung," ucap Jason Hatch, Senior Director, Product Management, Web Experience, Asia Pacific & Japan, Akamai Technologies.
Lebih jauh, Jason juga menjelaskan bahwa ada kebutuhan bagi direksi, TI dan unit bisnis lainnya untuk memikirkan kembali pendekatan teknologi mereka agar dapat mendorong kesuksesan transformasi digital. Kegagalan dalam melakukannya dapat menyebabkan hilangnya kesempatan dan mengekspos organisasi pada kerentanan yang tidak diinginkan.
Setidaknya ada tiga hal yang perlu jadi pertimbangan bagi perusahaan dalam mengejar transformasi digital sehingga mereka tidak masuk dalam perangkap kegagalan. Tak hanya itu, Jason dalam tulisannya yang dikirim ke Mobitekno.com juga berbagi tips untuk menghindari kegagalan tersebut.
1. Gagal melakukan skala perhitungan sesuai dengan kecepatan perkembangan bisnis
Pasar over-the-top (OTT) di Asia berkembang pesat. Semakin banyak layanan streaming dan video online yang bermunculan di Asia, seperti Netflix dan iFlix. Bisnis tersebut perlu berinvestasi pada teknologi dan memastikan bahwa infrastruktur mereka cukup kuat untuk menangani konten dengan volume besar. Mereka pun dituntuk untuk tetap kompetitif.
Indonesia adalah salah satu negara dengan pertumbuhan pengguna internet yang tercepat. Dibandingkan tahun 2016, peningkatannya hampir tiga kali dari rata-rata global dengan pertumbuhan 51 persen dari tahun ke tahun. Selain itu, perangkat mobile masih menjadi hal utama bagi pengguna internet di Indonesia.
Penetrasi perkembangan internet dan pertumbuhan yang diharapkan pada jumlah pengguna smartphone di Indonesia dikaitkan dengan hasil survei Akamai dan Kadence International baru-baru ini, mengindikasikan bahwa masih ada ruang bagi para pemain OTT mancanegara dan lokal untuk memasuki pasar, yang fokus pada perangkat mobile.
Namun, kolaborasi antara tim bisnis dan TI penuh dengan tantangan. Pertama, para pemimpin bisnis dan TI memiliki berbagai strategi dan prioritas keorganisasian. Pemimpin TI seringkali memprioritaskan optimalisasi infrastruktur TI, sumber daya dan kapabilitas.
Hal ini berbeda dengan pemimpin bisnis yang memiliki prioritas untuk memelihara pelanggan, mendorong kepuasan pelanggan dan menghadirkan pengalaman pelanggan yang lebih baik. Pada kahirnya, semua itu dapat dihitung secara kuantitatif menjadi nilai bisnis yang menarik.
"Menghadirkan kualitas dan pengalaman pelanggan yang lebih baik adalah kunci bagi semua model bisnis di era digital. Studi Akamai juga menyebutkan, kualitas streaming yang buruk menyebabkan peningkatan emosi negatif sebesar 16%. Masalah kualitas yang terus terjadi juga dapat menyebabkan dua pertiga penonton berhenti menggunakan sebuah layanan," jelas Jason.
Jason juga menjabarkan bahwa tim TI biasanya bergerak di belakang layar dalam hal pengalaman pelanggan, kemitraannya dengan para pemimpin bisnis sangatlah penting untuk mempertahankan loyalitas pelanggan dan untuk mendorong Returns on Investment atau (ROI).
Namun seringkali, mayoritas profesional TI kurang terkontrol dalam hal anggaran TI mereka dan tidak terlibat dalam tahap awal proses pengambilan keputusan ketika menyangkut cakupan dan estimasi anggaran. Selain itu, departemen TI menghadapi sebuah tantangan sumber daya manusia dalam hal pelatihan tim yang dapat menghasilkan adanya teknologi-teknologi baru.
Di sisi lain, para pemimpin bisnis mengharapkan dukungan TI yang baik dan tidak memberi banyak ruang untuk terjadinya masalah terkait TI, dalam pekerjaan-pekerjaanyang meli batkan mereka. Tanpa adanya keselarasan antara TI dengan bisnis, perusahaan akan terbatasi ruang geraknya sebelum mereka kehilangan relevansi dan pangsa pasar.
2. Tidak adanya pergerakan yang signifikan pada penjualan online
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak pemain bisnis, baik itu perusahaan besar maupun ritel, telah bergeser atau mengembangkan bisnis mereka melalui digital. Di tahun 2020, revolusi bisnis online di Indonesia diprediksi untuk mendorong Produk Domestik Bruto sebesar 22%.
Dengan latar belakang lanskap ritel yang berkembang, sebagian besar Chief Marketing Officer (CMO) bertanggung jawab atas perdagangan digital, pengalaman pelanggan, inovasi, penjualan dan bahkan TI. Gartner juga menemukan bahwa CMO akan lebih banyak menghabiskan uang untuk teknologi daripada Chief Information Officer (CIO) pada tahun 2017 ini.
Tentu saja, peran dan tanggung jawab CMO dan CIO tidak dapat dipisahkan dengan peningkatan anggaran pemasaran yang dialokasikan untuk teknologi. Sementara 80% CIO dan hampir separuh CMO mengatakan bahwa keselarasan antara pemasaran dan teknologi adalah prioritas utama mereka.
Namun, kedua belah pihak perlu mencari jalan tengah ketika berbicara mengenai jargon investasi teknologi. CIO seringkali tidak menyetujui obsesi CMO dengan adanya kecepatan yang tidak begitu menghiraukan proses-proses institusional. Sementara, CMO memiliki sedikit kesabaran dengan standarisasi dan keamanan fungsi teknologi.
Ketika CMO dan CIO tidak dapat mempelajari bahasa satu sama lain, hal ini dapat mengarah pada terlewatkannya peluang-peluang bisnis. Berkolaborasi dengan CIO, para CMO dapat tetap fokus pada pengalaman pelanggan dan teknologi yang menyenangkan mereka.
3. Keamanan yang terganggu
Keamanan cyber telah menjadi perhatian bisnis di lanskap ancaman online yang terus berkembang saat ini. Dampak buruk dari kegagalan keamanan semakin besar, dengan kejahatan cyber yang diperkirakan akan menguras biaya bisnis lebih dari US$ 2,1 triliun secara global di tahun 2018.
Bahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemenkominfo) juga menyebutkan bahwa serangan yang menargetkan pencurian identitas terus meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat, pada 2014 lalu serangan pencurian identitas mencapai 11 juta dan 2015 meningkat menjadi 13 juta. Pada tahun 2016 jumlahnya mencapai 15 juta pencurian identitas.
Terkait dengan hal itu, Kemenkominfo juga menegaskan bahwa Indonesia masuk dalam 10 negara teratas sebagai target penyerangan cyber. Ancaman seperti ini sendiri dapat berdampak pada downtime dan pencurian data, mempengaruhi pendapatan, reputasi dan yang terburuk adalah loyalitas pelanggan.
Bagi bisnis yang beroperasi dengan departemen TI yang terdesentralisasi, risikonya semakin tinggi. Keamanan seringkali terganggu karena meningkatnya penggelola pengguna pihak ketiga di perusahaan, sehingga menghasilkan “TI Bayangan”, atau ketika tekanan mempercepat penyebaran aplikasi perangkat lunak memberikan sedikit waktu bagi perusahaan, untuk menguji dan memastikan keamanan kode.
Mempekerjakan dan mempertahankan profesional keamanan cyber juga merupakan tantangan yang besar secara global, dengan lebih dari 1,5 juta posisi keamanan cyber bisa menjadi tidak terdaftar pada tahun 2020. Kekurangan sumber daya manusia ini bersumber pada fakta bahwa organisasi melihat keamanan siber sebagai isu TI daripada isu risiko bisnis.
Secara bersamaan, para pemimpin bisnis berjuang untuk mengukur ROI dari keamanan cyber dan membuat keputusan risiko cyber yang strategis. Kolaborasi yang lebih besar antara pemimpin bisnis dan TI diperlukan untuk mengurangi risiko pelanggaran atau penalti yang besar; dan menurunkan ancaman risiko cyber pada bisnis yang tidak memahami persoalan ini.
Transformasi digital yang sukses mewajibkan semua pemangku kepentingan dalam sebuah organisasi, untuk menghilangkan perbedaan dan mengadopsi semangat kolaboratif untuk mencapai keuntungan pasar jangka panjang yang sesungguhnya. Dengan menyelaraskan prioritas.
"Pada akhirnya, TI dan bisnis yang ada di dalam sebuah organisasi atau perusahaan akan menghasilkan keuntungan dari kesuksesan transformasi digital. Hal ini juga dengan cepat untuk mendorong sebuah inovasi, mengoptimalkan efisiensi operasional dan menghadirkan pengalaman pengguna yang positif," pungkas Jason.
Tags: Akamai, Akamai Technologies, Bisnis Online, CIO vs CMO, Jason Hatch, Security, transformasi digital