
Mobitekno – Operator Indonesia saat ini bersiap menyambut Impact Era 5G dalam adopsi teknologi 5G. Setidaknya ini menurut laporan terbaru “2025 5G Success Index” dari konsultan global Kearney.
Dalam laporan ini, Indonesia digambarkan sebagai pasar dengan potensi pertumbuhan signifikan di Asia Tenggara, meskipun saat ini masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Laporan ini menyoroti bahwa pelepasan atau ketersediaan spektrum frekuensi yang tepat dapat menjadi katalis utama untuk membuka peluang industri dan meningkatkan adopsi 5G di Indonesia.
Menurut laporan tersebut, lebih dari 30% populasi di 10 negara terdepan sudah menggunakan 5G, dengan Uni Emirat Arab dan Malaysia memimpin dengan penetrasi di atas 50%. Sementara itu, Indonesia hanya mencatatkan penetrasi 2% sejak peluncuran 5G pada 2021.
Angka ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi Indonesia, mulai dari infrastruktur yang belum memadai hingga keterbatasan ketersediaan spektrum frekuensi. Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang emas yang dapat dimanfaatkan jika langkah strategis segera diambil.
Carlos Oliver Mosquera, Partner di Kearney Singapura dan Kepala Kearney Technology Center of Excellence, menekankan pentingnya ketersediaan spektrum bagi adopsi teknologi 5G di Indonesia.
“Spektrum frekuensi yang tersedia saat ini belum ideal untuk 5G. Namun, ada diskusi tentang pelepasan 700 MHz, 2,6 GHz, dan 3,5 GHz yang lebih relevan. Jika regulator dapat merilis spektrum ini secara bersih, itu akan menjadi game-changer,” ujarnya.
Spektrum tersebut, yang disebut sebagai alokasi ‘greenfield’, memungkinkan operator telekomunikasi memperoleh frekuensi berkualitas tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas jaringan.
Laporan ini juga menunjukkan bahwa 2024 menjadi tahun persiapan bagi banyak negara untuk memasuki fase penting berikutnya dalam pengembangan 5G. Di Asia Tenggara, Malaysia telah mencapai cakupan populasi lebih dari 80% dalam tiga tahun berkat model jaringan grosir tunggal, sementara Singapura masuk dalam lima besar dunia berkat investasi pada infrastruktur Smart City.
Indonesia, meski stagnan dalam skor keberhasilan 5G, memiliki peluang untuk mengejar ketertinggalan dengan memanfaatkan harga perangkat yang kini lebih terjangkau dan potensi peningkatan konsumsi data yang signifikan.
Tantangan infrastruktur dan peluang komersialisasi
Meskipun optimisme global terhadap 5G meningkat, Indonesia masih menghadapi hambatan besar dalam hal infrastruktur. Jumlah stasiun pemancar (BTS) dan jaringan serat optik yang terbatas menjadi salah satu penyebab lambatnya adopsi 5G. Selain itu, ketersediaan spektrum yang tidak memadai turut memperparah situasi. Dari 115 operator yang dianalisis dalam indeks, 71 di antaranya telah meluncurkan situs API publik sebagai sumber pendapatan baru, namun Indonesia belum menunjukkan kemajuan signifikan di bidang ini.
Varun Arora, Managing Partner Kearney untuk Asia Tenggara, melihat potensi pertumbuhan konsumsi data yang sangat besar di Indonesia. Ia membandingkan konsumsi data per pelanggan di Indonesia yang saat ini 40% lebih rendah dibandingkan Thailand. Dengan adanya dukungan teknologi 5G, Arora memprediksi bahwa angka konsumsi data ini dapat melonjak secara signifikan, dari 13 GB per pelanggan menjadi 42 GB pada tahun 2030.

Peningkatan konsumsi data ini, menurut Arora, akan memberikan keuntungan ganda. Tidak hanya konsumen yang akan merasakan manfaatnya, tetapi juga operator telekomunikasi. Ia menjelaskan bahwa Total Cost of Ownership (TCO) jaringan 5G berpotensi lebih efisien dibandingkan dengan jaringan 4G, asalkan spektrum berkualitas tinggi tersedia.
Di sisi komersialisasi, operator global masih berjuang untuk memonetisasi 5G. Lebih dari separuh negara dalam indeks mengalami penurunan skor pada 2024, menandakan perlunya strategi baru. Peluncuran API jaringan menjadi salah satu solusi yang tengah digencarkan, dengan 15 operator menawarkan API konektivitas lanjutan dan 46 lainnya menyediakan API dasar. Indonesia, dengan pasar telekomunikasi yang besar, dapat memanfaatkan tren ini untuk mempercepat pertumbuhan ekonominya.
Posisi Indonesia di panggung global
Dalam perbandingan global, Amerika Serikat memimpin menurut kriteria “5G Success Index” dengan skor 8,3, diikuti oleh Australia (7,4), Spanyol (7,3), Singapura (7,3), dan Finlandia (7,1). Negara-negara ini unggul berkat ketersediaan spektrum, penetrasi tinggi, dan ekosistem digital yang matang.
Bagimana dengan situasinya di kawasan di Asia Tenggara? Sejauh ini, Malaysia patutu bangga karena tingkat penetrasi 5G di negaranya mendekati 55% dan rencana Malysia untuk pengembangan jaringan kedua diprediksi akan semakin mempercepat adopsi 5G.

Indonesia, meski berada di posisi terbawah di kawasan, memiliki keunggulan kompetitif yang belum sepenuhnya tergali. Harga perangkat 5G yang kini lebih murah dibandingkan saat peluncuran awal di negara lain menjadi salah satu faktor pendukung. Jika regulator segera bertindak untuk melepas spektrum yang relevan dan operator berinvestasi pada infrastruktur, Indonesia bisa melesat menuju era dampak 5G yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan inovasi teknologi.
Laporan Kearney ini seharusnya dapat menjadi semacam wake-up-call bagi regulator di Indonesia untuk bukan hanya mengejar ketertinggalan, tetapi juga menjadi pemimpin regional dalam adopsi 5G. Pemerintah Indonesia dan pihak terkait harus dapat mengubah tantangan menjadi peluang dan memastikan bahwa investasi dalam teknologi ini membuahkan hasil yang nyata bagi masyarakat dan industri.
Tags: 2025 5G Success Index, 5G, adopsi, Kearney, Komunikasi, operator, spektrum, Teknologi