
Mobitekno – Twilio baru saja merilis State of Customer Engagement Report (SOCER) 2025 yang juga mengungkit peranan adopsi kecerdasan buatan (AI) untuk mendorong pertumbuhan bisnis di Indonesia. Dalam media briefing di Jakarta, laporan SOCER 2025 diketahui 90% brand melaporkan terjadinya peningkatan pendapatan melalui penggunaan AI.
Meski demikian , laporan juga mengungkapkan bahwa loyalitas pelanggan, yang menjadi kunci kesuksesan jangka panjang, masih sangat bergantung pada kepercayaan dan sentuhan manusia. Meski AI membantu personalisasi interaksi, 87% konsumen Indonesia menyatakan mereka tidak ragu untuk beralih ke brand lain jika pengalaman yang diberikan tidak relevan dengan kebutuhan mereka.
Twilio melakukan sudalam rentang waktu 3 Januari hingga 17 Februari 2025, mencakup responden dari 18 negara. Tujuan survei adalah untuk memahami pandangan dan perilaku dari berbagai kalangan, baik dari sisi konsumen (dari generasi Z hingga baby boomer), maupun dari sisi pelaku bisnis, khususnya mereka yang bertanggung jawab dalam customer experience (CX), teknologi pemasaran (martech), dan strategi data pelanggan.


Temuan ini menyoroti tantangan besar bagi brand: meski puas dengan hasil bisnis dari AI, banyak konsumen merasa brand belum sepenuhnya memahami ekspektasi mereka. Hal ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara teknologi dan pendekatan yang berpusat pada manusia untuk mempertahankan loyalitas pelanggan.

Adopsi AI di Indonesia: Antusiasme bisnis vs Ekspektasi konsumen
Bisnis di Indonesia menunjukkan antusiasme tinggi dalam mengadopsi AI, menjadikan mereka salah satu yang terdepan di Asia Tenggara. Menurut SOCER 2025, 100% bisnis menggunakan AI untuk menganalisis data pelanggan guna memahami kebutuhan dan kendala mereka, sementara 94% memanfaatkan chatbot untuk menanggapi pertanyaan atau keluhan pelanggan.
Selain itu, AI juga dimanfaatkan untuk mencegah penipuan, mengelola risiko keamanan, serta mencatat riwayat interaksi pelanggan untuk memberikan rekomendasi produk yang relevan.

Namun, ada kesenjangan antara persepsi bisnis dan konsumen. Sebanyak 94% brand di Indonesia mengklaim telah menghadirkan personalisasi interaksi dengan baik, tetapi hanya 72% konsumen yang setuju dengan pernyataan ini.
Lebih mengkhawatirkan lagi, hanya 10% konsumen yang merasa interaksi mereka dengan brand selalu atau hampir selalu dipersonalisasi, sementara 39% mengatakan personalisasi hanya terjadi sesekali. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa brand perlu lebih memahami kebutuhan konsumen untuk memenuhi ekspektasi mereka.


Personalisasi berbasis AI: Peluang dan tantangan terhadap loyalitas pelanggan
AI telah terbukti meningkatkan pendapatan bisnis, dengan 90% brand di Indonesia mencatat kenaikan belanja pelanggan berkat personalisasi berbasis AI, seperti rekomendasi produk yang disesuaikan dan dukungan real-time.
Sebanyak 74% brand melaporkan keberhasilan dalam menyesuaikan penawaran dengan preferensi konsumen. Namun, personalisasi yang buruk dapat merusak kepercayaan, dengan 55% konsumen meragukan bahwa brand menggunakan data mereka untuk kepentingan pelanggan, dan 39% merasa jenuh dengan interaksi berbasis AI.
Loyalitas pelanggan sangat bergantung pada personalisasi yang transparan dan tepat waktu. Di Indonesia, 93% konsumen lebih cenderung membeli dari brand yang menawarkan interaksi personal secara real-time, tetapi hanya 44% brand yang mampu melakukannya.

Di sisi lain, pengalaman buruk dapat mendorong 59% konsumen untuk segera mencari alternatif, dan lebih dari 40% beralih ke brand lain. Hal ini menegaskan bahwa meski AI memberikan keuntungan finansial, loyalitas pelanggan memerlukan pendekatan yang lebih manusiawi dan transparan.
Transparansi dan sentuhan manusia jadi kunci kepercayaan
Konsumen Indonesia menunjukkan preferensi yang kuat terhadap interaksi yang terasa manusiawi, bahkan ketika didukung oleh AI. Sebanyak 88% konsumen menginginkan interaksi berbasis AI terasa seperti berbicara dengan manusia, dan 67% lebih memilih berbicara dengan agen manusia jika AI gagal menyelesaikan masalah. Transparansi juga menjadi faktor krusial: 64% konsumen ingin diberitahu ketika mereka berinteraksi dengan AI, dan 86% lebih suka memilih sendiri saluran komunikasi dengan brand.
Irfan Ismail, Regional Vice President, South ASIA & APAC, ISV Sales di Twilio, menekankan bahwa brand yang ingin unggul harus berinvestasi pada alat yang memungkinkan personalisasi berskala besar sambil menjaga transparansi. “Konsumen menginginkan kontrol atas interaksi mereka dengan brand di era AI. Brand yang mampu menyeimbangkan teknologi dengan kepercayaan pelanggan akan memenangkan persaingan,” ujarnya.

Laporan SOCER 2025 menegaskan bahwa di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat, loyalitas pelanggan tidak lagi dapat dianggap remeh. Brand yang mampu membangun hubungan transparan, personal, dan real-time akan tidak hanya mendorong pertumbuhan bisnis, tetapi juga memenangkan hati pelanggan di era yang didominasi AI.
Dalam pandangan Dr. Noveri Maulana, Associate Professor in Business Management PPM School of Management Jakarta, adopsi AI oleh bisnis kian marak di Indonesia, namun konsumen masih mengeluhkan kurangnya personalisasi.

AI dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, mulai dari menganalisis data pelanggan guna memahami kebutuhan dan hal-hal yang menjadi kendala, dimana 100% bisnis melakukan hal tersebut, menanggapi pertanyaan atau keluhan pelanggan dengan menggunakan chatbot (94%), mengelola risiko keamanan dan mencegah penipuan (100%), hingga mencatat riwayat interaksi dan perjalanan pelanggan (94%) untuk keperluan memberikan rekomendasi produk atau jasa sesuai kebutuhan pelanggan (94%).
Namun menurut Noveri, pertanyaan pentingnya adalah dimana sebaiknya brand harus melakukan investasi? Noveri menjawa jika keduanya penting karena AI dan manusia suharusnya saling terhubung. Dengan demikian, dengan melakukan investasi dalam pengembangan AI juga harus diikuti oleh peningkatan kompetensi manusianya.

Tags: Customer Experience, CX, Irfan Ismail, Konsumen, Laporan, martech, SOCER 2025, State of Customer Engagement Report 2025, Teknologi Pemasaran, Twilio