
Mobitekno – Tahun 2025 belum lama bergulir, namun Honda sudah dihantam gelombang ujian baru. Setelah menghadapi kegagalan merger dengan Nissan dan tekanan tarif impor AS, produsen otomotif asal Jepang ini kembali tercoreng oleh skandal etika yang melibatkan salah satu petingginya. Shinji Aoyama, Wakil Presiden Eksekutif sekaligus anggota dewan, memilih mengundurkan diri setelah dituduh melakukan tindakan tidak pantas di luar jam kerja.
Insiden ini bukan sekadar persoalan personal, melainkan tamparan keras bagi budaya korporat Honda yang mengedepankan compliance dan integritas. Dalam pernyataan resminya, Honda menyatakan kekecewaan mendalam: “Seorang pemimpin yang seharusnya menjadi teladan justru menjadi batu sandungan.”
Siapa Shinji Aoyama?
Shinji Aoyama (61 tahun) bukanlah nama sembarangan di Honda. Bergabung sejak 1986, ia adalah salah satu dari dua tangan kanan CEO Toshihiro Mibe yang membawahi operasi Amerika Utara, divisi sepeda motor, serta strategi elektrifikasi. Pengunduran dirinya—tepat sebelum rencana sanksi disipliner diberlakukan—meninggalkan kekosongan strategis di tengah transisi Honda menuju era mobil listrik.
Meski Honda bergegas mengambil langkah damage control—termasuk pemotongan gaji CEO sebesar 20% selama dua bulan—luka terhadap kepercayaan pemegang saham sulit dielakkan. Apalagi, kinerja saham Honda telah anjlok 22% sepanjang 2025, diperparah oleh kebijakan tarif impor Donald Trump yang menggerus margin keuntungan.
Bloomberg melaporkan bahwa Honda akan menerapkan “struktur manajemen baru” pascaskandal ini. Meski belum dijelaskan detailnya, spekulasi mengarah pada kemungkinan restrukturisasi besar-besaran. Analis memprediksi, keputusan ini mungkin sudah direncanakan jauh sebelumnya, mengingat performa saham yang terus merosot.
Di industri yang semakin kompetitif, terutama dalam persaingan mobil listrik, kepercayaan investor dan konsumen adalah modal utama.
Skandal Shinji Aoyama datang di saat Honda sedang berjuang menghadapi tantangan eksternal, yakni:
1. Tarif Impor AS: Kebijakan Trump memukul langsung ekspor Honda, menekan saham hingga 11%.
2. Merger Gagal: Pembicaraan merger senilai $60 miliar dengan Nissan kandas, menghilangkan peluang sinergi di pasar global.
Dua faktor ini mempertegas betapa 2025 menjadi tahun penuh ujian bagi Honda.
Pengunduran diri Shinji Aoyama mungkin bisa menutup babak skandal, tetapi ia meninggalkan pekerjaan rumah berat bagi Honda. Di satu sisi, perusahaan perlu memulihkan citra sebagai entitas yang patuh hukum. Di sisi lain, tekanan pasar menuntut aksi nyata—bukan hanya retorika.
Seperti kata pepatah Jepang: Nanakorobi yaoki (jatuh tujuh kali, bangun delapan kali). Honda kini berada di persimpangan: apakah ia akan bangkit lebih kuat, atau justru terperosok oleh rentetan ujian ini? Jawabannya tergantung pada seberapa cepat perusahaan ini bisa belajar dari kesalahan dan mengubah krisis menjadi momentum transformasi.
Tags: Honda, kasus skandal, Kebijakan Tarif, merger Nissan, Shinji Aoyama