Mobitekno – Industri telekomunikasi di dunia berkembang begitu pesat. Salah satunya adalah teknologi jaringan 5G. Ya, teknologi ini digadang-gadang mampu membawa banyak perusahaan dan operator untuk mengembangkan bisnisnya ke level berikutnya. Dengan latensi yang sangat rendah, dibandingkan teknologi 4G sebelumnya, 5G tentunya menawarkan kecepatan dan bandwidth yang lebih leluasa. Namun, bukan hanya latensi saja yang menjadi perhatian, tetapi juga network slicing, edge, dan komunitas ISV yang tentunya bisa mengembangkan banyak aplikasi dari keberadaan 5G ini.
“Akan ada banyak peluang bagi perusahaan dan operator dengan adanya 5G. Dengan 5G, mereka dengan teknologi edge-nya serta network footprint-nya, dan melibatkan komunitas ISV, bisa mengembangkan banyak aplikasi bisnis. Peluang-peluang inilah yang tidak terdapat saat peralihan sebelumnya, yaitu dari teknologi 3G ke 4G,” ujar Ben Panic, Senior Director, Telco Vertcal, Red Hat APAC, Kamis 16/12/2021.
“Industri farmasi atau lemedicine misalnya. Industri ini lahir dalam dua tahun belakangan ini karena didukung oleh rendahnya latensi di jaringan 5G. Industri lainnya juga melihat hal yang sama, seperti industri keamanan, penambangan, hingga telekomunikasi. Keadaan ini menjadi momentum yang menyenangkan bagi operator karena bisa mengembangkan aplikasi khusus untuk kebutuhan industri tersebut,” lanjut Ben.
Menurut Red Hat, Indonesia sendiri memiliki potensi yang besar dengan adanya transformasi digital dari 4G ke 5G ini. Per Januari 2021 ada lebih dari 202 juta orang Indonesia yang online, naik 27 juta (16 persen) dalam setahun. 5G juga sudah termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 walaupun service provider mengakui use case untuk konektivitas yang cepat itu masih terbatas. Walau begitu, sangat menjanjikan ketika spektrum 5G sudah tersedia di kota besar seperti Jakarta dan akan tersedia di sembilan kota besar lainnya mulai awal 2022.
Bahkan, Indonsia dinilai sebagai market yang paling menjanjikan untuk masalah digitalisasi ini di Asia tenggara. Di Indonesia, penetrasi konektivitas mobile 125,6%. Sepertiga (33%) orang Indonesia juga mengklaim memiliki smartphone berkemampuan 5G. Ini bahkan lebih tinggi daripada market barat seperti AS (26%), Jerman (17%), Inggris (16%) dan Prancis (16 %), menurut International Telco Report 2021 dari YouGov. Riset Google dan Temasek juga menunjukkan bahwa tahun ini ekonomi digital Indonesia akan mencapai US$70 miliar, naik 49 persen dari 2020.
Teknologi Edge Computing sendiri juga berperan dalam menjembatani gap antara jaringan 5G dan kapabilitas jaringan yang sudah ada sekarang ini. Inovasi dari Edge Computing bisa mengakselerasi inovasi, dimana aplikasi dan service dibangun di berbagai cloud provider. Ini bisa menciptakan peluang bagi perusahaan telco untuk tidak hanya memberikan jaringan saja.
Red Hat sendiri memiliki solusi untuk kebutuhan operator dalam menjembatani gap ini. Hal ini karena jaringan edge adalah perpanjangan dari NFVI Red Hat yang berbasis Red Hat OpenStack Platform. Dengan distributed compute node (DCN) di Red Hat OpenStack Platform 13, pelanggan dapat menjalankan sejumlah kecil node komputasi di jaringan edge sambil mengelolanya dari pusat. Ini membantu mencegah operasional yang mengalami silo sambil membuka peluang workload mobilitas di seluruh jaringan.
Langkah menuju cloudification jaringan ini juga didukung OpenShift yang memungkinkan operator meluncurkan solusi yang sudah containerized di berbagai tipe cloud tanpa refactoring perangkat lunak yang diperlukan. Keberadaan Open telco sangat penting, memungkinkan operator menentukan market yang ingin mereka bidik. Dengan open telco, industri tidak perlu mengikatkan diri pada satu vendor selama 5-7 tahun ke depan. Mereka punya pilihan dan kebebasan untuk berinovasi. Inovasi itu adalah tempat mereka memanfaatkan open source, di mana inovasi didorong oleh komunitas open source.
Tags: 5G Network, Open Telco, Red Hat, Red Hat Edge Computing, Red Hat Openshift