Mobitekno – Larangan penjualan dan penggunaan software keamanan siber buatan Rusia Kaspersky akhirnya diumumkan pemerintahan Presiden Joe Biden di Amerika Serikat (AS), pemerintah AS juga meminta warganya untuk beralih ke produk keamanan lainnya.
Menurut Biro Industri dan Keamanan Departemen Perdagangan AS, pihaknya memberlakukan larangan “yang pertama kali dilakukan”, dengan alasan bahwa Kaspersky mengancam keamanan nasional AS dan privasi pengguna karena perusahaan tersebut berbasis di Rusia.
Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo melaluipernyataan resminya ke wartawan menyatakan bawha Rusia telah menunjukkan kapasitasnya, dan bahkan lebih dari itu, niatnya untuk mengeksploitasi perusahaan-perusahaan Rusia seperti Kaspersky untuk mengumpulkan dan menggunakan informasi pribadi orang Amerika sebagai senjata.
Menurut argumen GIna, pemerintah AS terpaksa harus mengambil tindakan tegas karena risiko ancaman serius terhadap ancaman keamanan nasional. Software Kaspersky dianggap dapat dimanfaatkan oleh pihak intelijen Rusia untuk melakukan spionase atau sabotase terhadap infrastruktur digital penting milik pemerintah AS.
Meskipun Kaspersky Lab selalu membantah tuduhan tersebut dan menegaskan independensinya dari pemerintah Rusia, pihak berwenang AS tetap memandang risiko yang ditimbulkan terlalu besar untuk diabaikan. Apalagi mengingat ketegangan hubungan AS-Rusia yang kembali memanas dalam beberapa tahun terakhir.
Perusahaan keamanan siber asal Rusia ini terus mencoba mempertahankan citranya di mata internasional sejak pemerintah AS melarang software Kaspersky digunakan pada komputer pemerintah federal pada tahun 2017. Pada saat itu, para peretas dilaporkan menggunakan software Kaspersky untuk mencuri dokumen sensitif NSA, dan agen-agen Rusia dikatakan menggunakan perangkat lunak tersebut sebagai upaya untuk mencuri dokumen-dokumen sensitif NSA. pintu belakang pribadi.
Kurang lebih tujuh tahun kemudian, Biden akhirnya menggunakan kekuasaannya untuk melarang software buatan Kaspersky secara nasional. Bersamaan dengan larangan tersebut, pemerintahan Biden menambahkan Kaspersky ke dalam daftar pembatasan perdagangan, yang dapat semakin menghambat reputasi dan penjualan internasionalnya.
Dampak larangan Kaspersky bagi AS
Dampak dari kebijakan ini cukup signifikan. Seluruh lembaga pemerintah federal AS kini diharuskan untuk menghapus dan mengganti software Kaspersky yang terpasang di sistem mereka dalam jangka waktu yang ditentukan. Hal ini tentunya membutuhkan upaya dan biaya yang tidak sedikit, mengingat Kaspersky merupakan salah satu provider antivirus terkemuka di dunia yang banyak digunakan.
Penjualan baru Kaspersky di AS akan diblokir setelah 30 hari. Setelah 100 hari (29 September), pembatasan tersebut juga akan melarang pengunduhan pembaruan perangkat lunak, penjualan kembali, dan pelisensian produk. Produk yang mengintegrasikan Kaspersky ke dalam perangkat lunaknya, namun dijual dengan merek berbeda, juga akan dilarang.
Larangan ini juga berdampak pada sektor swasta di AS. Meski tidak secara langsung melarang perusahaan swasta menggunakan Kaspersky, namun imbauan keras dari pemerintah membuat banyak korporasi besar memilih untuk ikut menghentikan penggunaan software tersebut demi alasan kehati-hatian.
Bagi Kaspersky sendiri, kebijakan ini jelas merupakan pukulan telak. Pasar AS merupakan salah satu pasar terbesar mereka selama ini. Hilangnya akses ke pasar pemerintahan dan korporasi besar AS dipastikan akan berdampak signifikan pada pendapatan dan pertumbuhan bisnis perusahaan.
Di sisi lain, perusahaan keamanan siber asal AS seperti McAfee, Symantec, dan CrowdStrike justru diuntungkan. Mereka kini memiliki peluang besar untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Kaspersky di pasar pemerintahan dan korporasi AS.
Meski demikian, keputusan pemerintah Biden ini juga menuai kritik dari berbagai pihak. Sebagian menilai langkah ini terlalu berlebihan dan lebih didasari oleh sentimen anti-Rusia ketimbang bukti konkret. Ada pula yang mengkhawatirkan kebijakan ini justru akan memicu balasan serupa dari Rusia terhadap produk-produk teknologi AS.
Terlepas dari pro dan kontra, kebijakan ini menunjukkan betapa seriusnya pemerintah AS memandang isu keamanan siber. Di era di mana hampir seluruh aspek pemerintahan dan ekonomi bergantung pada sistem digital, keamanan infrastruktur siber menjadi sama pentingnya dengan keamanan fisik.
Kasus Kaspersky ini juga menjadi pelajaran penting bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, akan pentingnya membangun kapabilitas keamanan siber nasional yang mandiri. Ketergantungan pada produk keamanan siber asing, apalagi dari negara yang berpotensi menjadi “musuh”, bisa menjadi celah keamanan yang fatal.
Ke depannya, dapat diprediksi bahwa isu geopolitik akan semakin mewarnai lanskap industri keamanan siber global. Perusahaan-perusahaan teknologi, khususnya yang bergerak di bidang keamanan, akan menghadapi tantangan lebih besar dalam beroperasi di pasar internasional di tengah meningkatnya ketegangan antarnegara.
Bagi konsumen dan organisasi pengguna, situasi ini menuntut kewaspadaan dan kehati-hatian lebih dalam memilih solusi keamanan siber. Faktor country of origin dan potensi implikasi geopolitik mungkin perlu menjadi pertimbangan tambahan selain aspek teknis dan harga dalam pengambilan keputusan.
Terlepas dari kontroversinya, langkah pemerintahan Biden ini menegaskan bahwa di era digital saat ini, keamanan siber telah menjadi komponen vital dari keamanan nasional. Setiap negara dituntut untuk membangun strategi komprehensif guna melindungi infrastruktur digitalnya dari berbagai ancaman, baik yang bersifat kriminal maupun yang didukung oleh negara asing.
Tags: kaspersky, Kaspersky Lab, Keamanan, perang dagang, perangkat lunak, Presiden Biden, siber, Software