
Mobitekno – Sebuah Tesla Model Y meluncur tanpa pengemudi dari Gigafactory Texas dan tiba dengan selamat di garasi pelanggan di South Austin pada 28 Juni 2025. Peristiwa yang direkam dalam sebuah video ini sontak menjadi bukti nyata kemajuan Tesla, sebuah pencapaian yang menandai tonggak sejarah dalam perlombaan sengit menuju era mengemudi otonom penuh.
Kendaraan tersebut berhasil menavigasi jalan raya, persimpangan jalanan kota yang ramai, hingga area parkir tanpa sedikit pun diintervensi oleh (pengemudi) manusia. Namun, di balik keberhasilan demonstrasi teknologi yang impresif ini, tersembunyi sebuah pertaruhan filosofis dan teknis yang membedakan Tesla dari para pesaingnya: keyakinan mutlak pada sistem berbasis kamera.
Seperti diketahui, Tesla sudah mendemonstrasikan kemampuan FSD (Full Self-Driving), sebutan Tesla untuk teknologi autonomous driving-nya pada dua moemen. Pertama, tanggal 22 Juni 2025 untuk layanan robotaxi di Austin, Texas lalu 28 Juni 2025 untuk pengiriman kendaraan otonom perdana dari Gigafactory Texas ke rumah pelanggan. Namun, perlu diingat kedua momen tersebut masih bersifat pilot, di bawah pengawasan ketat regulator, dan belum tersedia secara luas.
Full Self-Driving sebagai visi jangka panjang Tesla
Tesla menyebut teknologinya, sebagai Full Self-Driving (FSD) alih-alih menggunakan istilah teknis seperti Autonomous Driving Level 4 atau 5 boleh jadi karena beberapa alasan, seperti branding, strategi hukum, dan fleksibilitas teknis.
Nama “FSD” adalah merek dagang yang mencerminkan visi jangka panjang Tesla tentang mobil yang bisa mengemudi sendiri sepenuhnya, meskipun kenyataannya saat ini sistem tersebut masih beroperasi pada Level 2, yang berarti tetap memerlukan pengawasan dan intervensi pengemudi.

Dengan tidak menyebut “Level 4” atau “Level 5”, Tesla juga menghindari tanggung jawab hukum yang lebih berat dan kewajiban regulasi yang menyertai klaim sistem otonom penuh. Pendekatan Tesla yang hanya mengandalkan kamera (tanpa LiDAR) juga berbeda dari standar industri otonom lainnya, sehingga perusahaan memilih istilah sendiri untuk menjaga kebebasan teknis dan narasi publiknya.
Pertaruhan filosofi: Kamera melawan LiDAR
Saat para raksasa teknologi lain seperti Waymo (Alphabet Inc) membangun fondasi kendaraan otonomnya di atas beberap sensor kompleks, terutama LiDAR (Light Detection and Ranging) dan radar, Tesla memilih jalan berbeda. Di bawah arahan Elon Musk, perusahaan ini secara sadar meninggalkan sensor-sensor tersebut dan bertaruh sepenuhnya pada “Tesla Vision,” sebuah sistem yang hanya mengandalkan kamera yang didukung oleh kecerdasan buatan (AI) canggih dan chip yang dirancang khusus.
Menurut Musk, pendekatan ini bukan hanya lebih murah, tetapi juga lebih efektif dalam jangka panjang. Logika Musak simpel, manusia mengemudi menggunakan dua mata (visi biologis) yang diproses oleh otak. Oleh karena itu, mobil otonom yang benar-benar cerdas seharusnya mampu melakukan hal yang sama dengan kamera (visi buatan) dan jaringan saraf tiruan.
Pendekatan ini secara teoretis dianggap paling ideal saat ini. Setiap Tesla yang terjual menjadi pengumpul data potensial, melatih sistem AI secara masif melalui pembaruan perangkat lunak jarak jauh, sebuah keunggulan yang tidak dimiliki pesaing dengan perangkat keras yang lebih mahal dan kompleks.
Di sisi lain, para pesaing seperti Waymo, yang juga telah sukses mengoperasikan layanan taksi otonom di area tertentu, menganggap pendekatan Tesla terlalu berisiko. Waymo menggunakan kombinasi LiDAR, radar, dan kamera untuk menciptakan peta 3D lingkungan sekitar yang sangat detail dan berlapis. LiDAR menggunakan laser untuk mengukur jarak dengan presisi tinggi dan tidak terpengaruh oleh kondisi cahaya, sementara radar dapat menembus hujan lebat, kabut, atau salju, situasi dan kondisi di mana kamera dianggap masih kesulitan bekerja optimal.
Bagi Waymo, kombinasi LiDAR, radar, dan kamera bukanlah hal yang berlebiha, melainkan suatu syarat mutlak untuk menjamin keselamatan. Para kritikus, termasuk ahli seperti Philip Koopman dari Carnegie Mellon University, meragukan apakah kamera saja cukup untuk menangani semua situasi kompleks di jalan raya dan menegaskan bahwa masih ada jalan panjang sebelum teknologi ini dapat diandalkan dan aman untuk digunakan secara luas.
Adopsi LiDAR masih dianggap krusial ke depan
Selain Waymo, ada beberapa perusahaan otomotif dan teknologi terkemuka lainnya yang juga sedang mengembangkan teknologi autonomous driving dengan mengandalkan LiDAR untuk mendukung pemetaan lingkungan dan navigasi yang akurat. Volvo, bekerja sama dengan Luminar, mengintegrasikan LiDAR pada model seperti EX90 untuk meningkatkan keselamatan.
Mercedes-Benz menggunakan LiDAR pada S-Class dan EQS untuk sistem Drive Pilot level 3, sementara Audi menjadi pelopor dengan LiDAR pada A8 untuk Traffic Jam Pilot. Ford, melalui kolaborasi dengan Argo AI, memanfaatkan LiDAR pada model seperti Fusion Hybrid, dan Nissan mengintegrasikannya pada konsep seperti Ariya.
Selain itu, Lucid Motors kuga menggunakan LiDAR dalam sistem DreamDrive pada Lucid Air, dan Rivian menerapkannya untuk mendukung fitur otonom pada R1T dan R1S, baik di jalan raya maupun off-road. General Motors melalui divisi Cruise menggunakan LiDAR untuk taksi otonom Cruise Origin, sementara Chery berkolaborasi dengan Hesai Technology untuk model-model terbaru. Terakhir, raksasa teknologi Tiongkok, Huawei juga berinvestasi pada LiDAR terjangkau untuk mendukung ekosistem kendaraan otonom.
Berbeda dengan pendekatan ini, Tesla memilih pendekat ‘computer vision’ tanpa LiDAR, telah menunjukkan variasi strategi dalam industri. Banyak pihak masih menganggap teknologi LiDAR tetap menjadi kunci untuk akurasi tinggi, meskipun masih ada tantangan, seperti biaya dan kondisi cuaca yang harus terus dioptimalkan.
Tantangan regulasi dan kepercayaan publik
Pengiriman otonom di Texas, meskipun monumental, harus dilihat dalam konteks yang tepat. Ini bukanlah peluncuran fitur untuk semua konsumen, melainkan sebuah uji coba terkontrol yang dirancang untuk membuktikan sebuah konsep kepada publik dan investor. Texas menyediakan panggung yang ideal untuk eksperimen semacam ini.
Dengan regulasi yang lebih longgar dibandingkan California, negara bagian ini tidak mewajibkan pengumpulan data pengujian yang ketat. Bahkan, sebuah undang-undang baru yang ditandatangani oleh Gubernur Greg Abbott pada Juni 2025 akan semakin mempermudah operasi kendaraan otonom dengan sistem perizinan mulai 1 September 2025. Kebebasan regulasi ini memungkinkan Tesla untuk mendorong batas-batas teknologinya lebih jauh dan lebih cepat.
Namun, tantangan terbesar bagi Tesla mungkin bukan lagi pada teknologi atau regulasi, melainkan pada kepercayaan publik. Perusahaan ini masih harus berjuang melawan skeptisisme yang timbul dari beberapa insiden dan kecelakaan fatal yang melibatkan sistem Full Self-Driving (FSD) bestutan Tesla. Meskipun Tesla sudah menyebut FSD bukanlah otonomi penuh (Level 5), insiden-insiden tersebut telah menyoroti risiko yang ada dan memicu perdebatan sengit tentang pendektan keamanan yang hanya mengandalkan kamera.
Keputusan Tesla untuk tidak menggunakan LiDAR pada kendaraannya dan mengandalkan pendekatan berbasis visi dan kamera untuk mengemudi secara otonom merupakan bagian dari filosofi perusahaan yang lebih luas tentang kesederhanaan, efisiensi biaya, dan inovasi.
Meskipun LiDAR tetap menjadi ‘komponen’ penting bagi banyak pesaing dalam perlombaan teknologi autnomous driving, Tesla mengandalkan kekuatan Deep Learning (DL) dan data mengemudi di dunia nyata untuk membuka jalan bagi masa depan kendaraan yang sepenuhnya otonom. Apakah pendekatan ini akan berhasil dalam jangka panjang masih perlu ditunggu nanti. Namun, visi Tesla untuk mobil otonom tidak dapat disangkal adalah ambisius sekaligus realistis.
Tags: Autonomous Driving, Autonomous Driving Level 5, Elon Musk, FSD, Full self-driving, Kamera, Lidar, Mobil otonom, radar, Tesla, Tesla Model Y, Waymo