
Mobitekno – Bitcoin kembali menjadi sorotan dunia, menembus rekor harga tertinggi (all-time-high/ATH) baru di angka Rp1,7 miliar (US$109.900) pada Rabu, 21 Mei 2025. Raihan ini menandai pemulihan cepat harga Bitcoin setelah sempat anjlok ke Rp1,2 miliar (US$75.000) pada awal April 2025 lalu.
Didorong oleh kombinasi faktor politik, keuangan, dan adopsi institusional, Bitcoin kini memasuki fase penemuan harga baru. Para ahli dan tokoh industri memprediksi kenaikan yang jauh lebih besar, dengan beberapa memperkirakan harga bisa mencapai Rp15,7 miliar (US$1 juta) dalam siklus ini. Apa yang mendorong lonjakan ini, dan seberapa jauh Bitcoin bisa melaju?
Kenaikan ini terjadi di tengah perubahan lanskap politik di Amerika Serikat, di mana kripto mulai mendapat legitimasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sikap Presiden Trump yang melunak terkait perang dagang telah meningkatkan kepercayaan investor, mendorong sikap lebih berani terhadap aset berisiko. Lebih penting lagi, kebijakan pro-kripto pemerintahannya memberikan angin segar bagi Bitcoin.
Awal tahun ini, Trump telah memerintahkan Departemen Keuangan AS untuk membentuk Cadangan Bitcoin Strategis (Strategic Bitcoin Reserve) yang mengindikasikan penerimaan aset digital di level pemerintahan. Di sisi lain, Kongres AS juga bergerak maju dengan legislasi ramah kripto. Pada Senin, Senat AS memajukan rancangan undang-undang untuk mengatur stablecoin, menandai langkah bersejarah menuju integrasi kripto ke dalam sistem keuangan. Perkembangan ini telah mengubah persepsi Bitcoin dari aset pinggiran menjadi instrumen investasi utama.
Wall Street pun mulai merangkul revolusi kripto. Jamie Dimon, CEO JPMorgan Chase yang dulu skeptis terhadap kripto, mengumumkan minggu ini bahwa banknya akan mengizinkan klien membeli Bitcoin. Langkah ini menyusul raksasa keuangan lain seperti Morgan Stanley dan BlackRock.

Dana iShares Bitcoin Trust (IBIT) milik BlackRock mencatatkan aliran masuk sebesar Rp102 triliun (US$6,5 miliar) dalam sebulan terakhir, melonjak ke peringkat kelima di antara ETF AS dengan aliran masuk terbesar tahun ini. Masuknya modal institusional ini menggarisbawahi daya tarik Bitcoin sebagai lindung nilai terhadap sistem keuangan tradisional, terutama di tengah ketidakpastian geopolitik.
Adopsi korporasi juga menjadi pendorong utama. Munculnya “Bitcoin Treasurys”—perusahaan publik yang mengalokasikan sebagian neraca mereka untuk Bitcoin—telah meningkatkan permintaan secara signifikan. MicroStrategy, yang dipimpin Michael Saylor, memimpin tren ini dengan mengumpulkan Bitcoin senilai Rp990 triliun (US$63 miliar) setelah pembelian Rp12 triliun (US$765 juta) minggu lalu.
Pemain baru seperti Twenty One, perusahaan cek kosong yang dipimpin oleh Brandon Lutnick, juga mengikuti jejak ini, memperkuat permintaan korporasi. Tren ini mencerminkan pandangan investor miliarder Tim Draper, yang menyebut perusahaan yang tidak memegang Bitcoin sebagai “tidak bertanggung jawab.”
Optimisme akan masa depan Bitcoin
Para analis sangat optimistis tentang masa depan Bitcoin. Geoffrey Kendrick dari Standard Chartered memprediksi harga Rp3,1 miliar (US$200.000) pada akhir tahun ini, didorong oleh investor AS yang mengalihkan aset dari instrumen tradisional. Analis Bernstein sependapat, memproyeksikan harga serupa untuk siklus kenaikan ini, dengan adopsi institusional sebagai katalis utama.
Prediksi yang lebih berani datang dari Adam Back, CEO Blockstream, yang meprediksi Bitcoin dapat mencapai Rp7,8 miliar hingga Rp15,7 miliar (US$500.000–US$1 juta) dalam siklus ini. Argumentasinya adalah adanya aliran masuk institusional dan dinamika pasca-halving. Arthur Hayes, mantan bos BitMEX, memproyeksikan Rp2,4 miliar (US$150.000) pada akhir tahun, didorong oleh arus modal global yang mencari “perahu penyelamat” dari pasar tradisional.
Tim Draper mematok target Rp3,9 miliar (US$250.000), sementara Larry Fink dari BlackRock membayangkan Rp11 miliar (US$700.000) jika institusi seperti dana kekayaan negara mengalokasikan dana ke Bitcoin. CEO Coinbase, Brian Armstrong, bahkan memprediksi harga “berkali-kali lipat dalam jutaan” di masa depan seiring adopsi oleh negara-negara.
Namun, tidak semua yakin kenaikan ini akan mulus. Bitcoin sempat turun ke Rp1,7 miliar (US$108.000) dalam perdagangan terbaru, mengikuti penurunan pasar saham AS, menunjukkan sensitivitasnya terhadap sentimen pasar. Meski prospek jangka panjang optimistis, volatilitas jangka pendek tetap menjadi risiko. Namun, konvergensi dukungan politik, adopsi institusional, dan permintaan korporasi menciptakan gambaran yang kuat untuk kenaikan Bitcoin.
Saat Bitcoin memasuki fase harga ATH baru nantinya, pertanyaannya bukan lagi apakah harganya akan naik, tetapi seberapa tinggi Bitcoin bisa meningkat nilainya. Dengan prediksi mulai dari Rp2,4 miliar (US$150.000) hingga miliaran, aset kripto terbesar di dunia ini bukan lagi dianggap sekadar aset spekulatif. Bitcoin telah banyak diakui sebagai menjadi salah satu instrumen kekuatan finansial global.
Tags: all-time high, aset, ATH, Bitcoin, BlackRock, cryptocurrency, Harga, JPMorgan Chase, Kripto, MicroStrategy, Morgan Stanley, Stablecoin, Strategic Bitcoin Reserve