Mobitekno – Dampak perubahan iklim yang dirasakan Indonesia terlihat pada posisi ke-4 sebagai negara dengan tingkat emisi karbon (CO2) tahunan terbesar di dunia. Pertumbuhan populasi dan ekonomi yang pesat meningkatkan kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim. Dari tahun 1981 hingga 2018, Indonesia mengalami kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,03℃ per tahun.
Selain itu, kenaikan permukaan laut di Indonesia mencapai 0,8 hingga 1,2 cm per tahun, yang mempengaruhi 65% masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir.
Negeri ini juga rawan terhadap bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan badai tropis. Data menunjukkan bahwa 80% dari total bencana yang terjadi di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi. Hal ini diperparah dengan perubahan iklim yang mempengaruhi pola cuaca global dan memperburuk intensitas serta frekuensi bencana tersebut.
Pera Melinda selaku director Nol Karbon menyoroti langkah strategis lewat Enhanced NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia, yang berkomitmen untuk menerapkan kebijakan yang fokus pada pengurangan emisi karbon dan aksi iklim di tingkat global, nasional, dan lokal. Lima sektor utama yang menjadi fokus pengurangan emisi karbon dalam NDC adalah:
– Kehutanan dan Penggunaan Lahan (Forestry and Other Land Use – FOLU)
– Energi
– Pertanian
– Proses Industri (Industrial Process and Production Uses – IPPU)
– Pengolahan Limbah
Carbon Credit: Solusi untuk Emisi Karbon
Carbon Credit, menurut Pera, adalah mekanisme jual beli karbon yang melibatkan lembaga atau entitas yang memiliki kelebihan O2 untuk dijual kepada negara atau perusahaan yang memiliki kelebihan emisi gas rumah kaca (GRK) seperti CO2, CH4, N2O, HFCs, PFCs, dan SF6. Praktik ini bertujuan menjaga kelestarian bumi dan memberikan kompensasi kepada negara yang memiliki hutan serta aktif menjaga lingkungan.
Setiap karbon yang dijual harus melalui sertifikasi dari badan sertifikator yang diakui validitasnya. Upaya ini penting untuk menghindari praktik greenwashing dan “karbon hantu”. Dalam hal ini, Ecosystem Marketplace telah mengidentifikasi 170 jenis kredit karbon yang tersebar di delapan kategori, antara lain:
– Kehutanan dan Penggunaan Lahan
– Energi Terbarukan
– Rumah Tangga dan Masyarakat
– Proyek Kimia atau Industri
– Efisiensi Energi
– Pengolahan Limbah
– Pertanian
– Transportasi
“Untuk mencapai volume kredit dan target pengurangan suhu global sebesar 1,5℃, diperlukan modal tambahan sebesar US$90 miliar USD. Sejak tahun 2020, lebih dari 1.500 proyek kredit karbon telah dikembangkan dan terdaftar di lima registri karbon terkemuka. Dari tahun 2012 hingga 2022, tercatat investasi sebesar $36 miliar USD dalam proyek kredit karbon, dengan lebih dari $3 miliar USD diarahkan untuk investasi di masa depan,” papar Pera.
Lebih lanjut, pemerintah Indonesia telah mengatur perdagangan karbon dan Nilai Ekonomi Karbon dengan prinsip keselamatan dan kedaulatan negara, serta tata kelola sumber daya alam. Kebijakan ini bertujuan menghindari greenwashing dan memastikan integritas lingkungan dalam perdagangan karbon internasional melalui inventarisasi dan pengukuran emisi GRK dengan kriteria TACCC (Transparansi, Akurasi, Konsistensi, Kelengkapan, dan Keterbandingan).
Insentif perdagangan karbon harus berkontribusi pada pembangunan kesejahteraan masyarakat, dengan pendapatan dari perdagangan karbon yang dibagi secara jelas antara pendapatan negara, pelaksana operasional, dan masyarakat sebagai upah atau penghargaan.
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengelola risiko bencana hidrometeorologi dan dampak perubahan iklim akibat emisi karbon. Komitmen melalui Enhanced NDC dan mekanisme carbon credit menjadi langkah strategis dalam mengurangi emisi karbon dan menjaga kelestarian lingkungan. Kebijakan perdagangan karbon yang transparan dan akuntabel akan memastikan kontribusi positif terhadap kesejahteraan masyarakat dan integritas lingkungan.
Tags: Carbon Credit, emisi karbon, Kebijakan perdagangan karbon, Nol Karbon