December 27, 2024

“Made in China 2.0”, Kualitas dan Teknologi Otomotif Tiongkok Kini Sejajar dengan Negara-negara Maju

Penulis: Rizki R
“Made in China 2.0”, Kualitas dan Teknologi Otomotif Tiongkok Kini Sejajar dengan Negara-negara Maju 

Mobitekno – Dalam lima tahun terakhir, Tiongkok telah menunjukkan bagaimana sebuah negara dapat mentransformasi industrinya dari yang tertinggal menjadi pemimpin global. Perkembangan pesat industri kendaraan listrik (EV) di Tiongkok kini menjadi tolok ukur bagi negara-negara lain.

Pada tahun 2020, Negeri Tirai Bambu masih berada dalam tahap awal transisi menuju kendaraan listrik. Saat itu, penetrasi EV di pasar mobil domestik hanya 5,4%, tertinggal dari kawasan lain seperti Eropa dan California. Bahkan, negara-negara dengan adopsi EV yang relatif lambat, seperti Rumania, masih lebih unggul dibandingkan Tiongkok.

Target mereka pada saat itu juga terbilang moderat: 50% penjualan kendaraan pada 2035 harus berupa New Energy Vehicles (NEV), yang mencakup kendaraan listrik murni, plug-in hybrid, dan kendaraan hibrida. Target ini tampak kurang ambisius jika dibandingkan dengan langkah California dan Eropa yang mulai mempertimbangkan pelarangan total kendaraan berbahan bakar fosil pada 2035.

Namun, keadaan berubah drastis. Menjelang akhir 2024, Tiongkok tidak hanya memenuhi target 2035, tetapi melampauinya 10 tahun lebih awal. Bahkan, pada Januari 2024, target baru sebesar 45% untuk penjualan NEV pada 2027 telah terlampaui hanya dalam waktu kurang dari satu tahun.

Kunci Keberhasilan Tiongkok: Strategi dan Nasionalisme Konsumen

BYD Closing GJAW 16 scaled

Transformasi pesat industri EV di Tiongkok bukanlah kebetulan. Ada beberapa faktor yang berperan penting dalam percepatan ini, seperti dikutip Mobitekno dari laman Electrek:

1. Kebijakan Industri yang Progresif

Sejak awal dekade 2010-an, Tiongkok telah fokus pada pengembangan pasokan mineral untuk baterai EV dan mendukung produsen domestik. Ini memungkinkan mereka untuk bersaing secara global dengan kualitas produk yang semakin baik.

2. Dukungan Konsumen Dalam Negeri

Konflik geopolitik dan sanksi teknologi mendorong nasionalisme konsumen di Tiongkok. Konsumen semakin memilih produk dalam negeri, terutama kendaraan listrik, sebagai simbol kebanggaan nasional.

3. Regulasi Emisi yang Tegas

Ketika produsen mobil asing kesulitan menyesuaikan diri dengan aturan emisi baru, produsen lokal justru mengoptimalkan produksi kendaraan listrik. Alhasil, mobil berbahan bakar bensin menjadi kurang diminati.

4. Respons Pandemi yang Efektif

Meski pandemi COVID-19 sempat menurunkan penjualan mobil secara global, Tiongkok berhasil memulihkan ekonominya lebih cepat. Pemerintah memberikan insentif untuk mempercepat transisi ke kendaraan listrik, memastikan produsen lokal tetap kompetitif.

Pada 2024, Negeri Tirai Bambu resmi menjadi eksportir mobil terbesar di dunia, menggeser posisi Jepang yang telah memimpin selama beberapa dekade. Prestasi ini tidak hanya menjadi bukti keberhasilan transformasi industri EV Tiongkok, tetapi juga mempertegas keunggulan mereka dalam rantai pasokan global.

Tiongkok

Langkah mereka kontras dengan pendekatan proteksionis yang diambil oleh beberapa negara Barat dan Jepang, yang cenderung memperlambat transisi menuju EV. Pemerintah dan produsen di negara-negara tersebut sering kali terjebak dalam perdebatan politik dan kepentingan industri tradisional, menghambat kemajuan yang seharusnya sudah dimulai.

Sementara itu, Pemerintahan Presiden Joe Biden telah berupaya keras mengarahkan kebijakan industri Amerika Serikat agar siap menghadapi era kendaraan listrik (electric vehicles/EV). Salah satu tonggak penting adalah Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act) yang membawa investasi ratusan miliar dolar dan menciptakan ratusan ribu lapangan pekerjaan terkait EV di AS.

Selain itu, Environmental Protection Agency (EPA) dan Departemen Transportasi (DOT) di bawah Biden meningkatkan aturan emisi untuk mendorong inovasi dalam industri otomotif meski menghadapi tekanan dari berbagai pihak.

Namun, kebijakan ini juga diiringi oleh penerapan tarif yang besar, yang meskipun bertujuan melindungi industri dalam negeri, berisiko menciptakan rasa puas diri yang justru dapat melemahkan daya saing manufaktur Amerika di pasar global.

Keberlanjutan transisi EV di AS menghadapi tantangan besar jika Donald Trump, mantan presiden yang kontroversial, kembali ke Gedung Putih. Dalam masa jabatannya sebelumnya, kebijakan Trump sering kali bertolak belakang dengan kebutuhan industri untuk beradaptasi terhadap perubahan zaman. EPA di bawah Trump menolak kebijakan udara bersih yang dirancang untuk mendorong transisi ke EV, dan justru memperbesar konflik dengan negara bagian yang berkomitmen pada energi bersih.

Berbeda dengan Tiongkok yang mengadopsi kebijakan industri yang progresif dan terorganisir untuk memimpin pasar EV global, AS di bawah kepemimpinan Trump cenderung menghilangkan kepastian regulasi yang sebelumnya dibangun, seperti yang dimulai di era Obama.

Sebagian besar produsen mobil besar kini tampaknya telah belajar dari pengalaman mereka di masa lalu. Mereka mulai lebih vokal meminta pemerintah untuk tidak memperburuk aturan emisi. Namun, masih ada dilema dalam hubungan mereka dengan pemerintahan Trump, terutama mengingat kontribusi finansial mereka kepada pihak yang sebelumnya cenderung menentang kebijakan ramah lingkungan.

AS memiliki potensi untuk menjadi pemimpin dalam transisi ke kendaraan listrik, tetapi keberhasilan ini memerlukan konsistensi kebijakan, dukungan pemerintah, dan komitmen industri. Dengan tantangan politik yang tidak menentu, pertanyaan besar tetap ada: Apakah AS mampu menjaga momentum ini, atau akankah pesaing global seperti Tiongkok terus mengambil alih posisi terdepan dalam revolusi EV?

Pelajaran dari Tiongkok: Fleksibilitas dan Keberanian Berinovasi

IMG 20240724 103612 scaled

Kasus Tiongkok menunjukkan bahwa perubahan besar dapat terjadi jika pemerintah dan industri memiliki keberanian untuk berinovasi dan fleksibilitas dalam menyesuaikan diri dengan tren global. Contoh lain keberhasilan percepatan transisi EV adalah Norwegia. Pada 2021, lebih dari 90% pasar otomotif Norwegia sudah terelektrifikasi, jauh sebelum target penghentian penjualan mobil berbahan bakar fosil pada 2025.

Namun, di Tiongkok, skala transformasi ini jauh lebih besar, dengan penduduk mencapai 1,5 miliar orang. Hal ini membuktikan bahwa perubahan struktural dapat dilakukan, bahkan dalam skala besar, bila ada kemauan politik, strategi yang jelas, dan dukungan masyarakat.

Transformasi industri kendaraan listrik Tiongkok merupakan contoh nyata bagaimana sebuah negara dapat bangkit dari posisi tertinggal menjadi pemimpin global dalam waktu singkat. Keberhasilan ini tidak hanya berdampak pada perekonomian negeri, tetapi juga memberikan pelajaran berharga bagi dunia tentang pentingnya inovasi, kebijakan strategis, dan adaptasi terhadap perubahan.

Negara-negara lain kini menghadapi tantangan untuk mengejar ketertinggalan. Jika tidak segera bertindak, mereka berisiko kehilangan posisi dalam pasar otomotif global yang semakin kompetitif. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Indonesia siap untuk belajar dari kesuksesan Tiongkok?

Tags: , , , , , , ,


COMMENTS