Mobitekno – Ben Panic, Vice President and Head of Telco, Media & Entertainment Sales, APAC, Red Hat dalam tulisannya mengemukakan bahwa tekanan dari dalam dan luar pada satu dekade terakhir telah mendorong service provider untuk mulai mentransformasi proses mereka dan mengadopsi karakter perusahaan teknologi, atau yang biasa disebut “techco.”
Beberapa perusahaan sudah memulai inisiatif-inisiatif seperti struktur organisasi yang agile dan proses yang memanfaatkan software. Pendekatan lain meliputi karyawan yang fleksibel, dan kemitraan ekosistem untuk menciptakan layanan yang baru dan menarik bagi pelanggan.
Sebagai contoh, wilayah Asia Pasifik sangat bervariasi dalam hal pendekatan dan kemajuan service provider-nya. Beberapa jaringan 5G yang paling mutakhir di dunia bisa ditemukan di China, Jepang dan Korea, dengan service provider yang menggelar jaringan 5G standalone (SA), mengikuti alokasi spektrum.
Sementara di wilayah lainnya di Asia Selatan dan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), lebih berfokus untuk memperluas jangkauan jaringan 4G sekaligus berusaha untuk menggelar layanan 5G.
STL Partners melakukan interview dan survei yang ekstensif, sebagai bagian dari riset mereka, kepada 66 stakeholder operator untuk mendapatkan pandangan mereka mengenai apa yang seharusnya menjadi fokus industri telekomunikasi dalam beberapa tahun mendatang, terutama untuk mendorong pertumbuhan revenue B2B. Riset ini bertujuan untuk memahami sudut pandang tiap perusahaan serta langkah-langkah praktis yang mereka ambil untuk menghadapi tantangan yang akan datang dalam industri.
Indeks transformasi digital: ruang untuk perbaikan dalam gerak menuju cloud-native dan layanan edge
Bersama dengan survei dan interview tersebut, STL Partners juga menciptakan matriks transformasi digital berdasarkan informasi yang tersedia di publik. Dengan mengurangi profil telko hingga 13 metrik utama, benchmarking exercise berfokus pada beberapa domain di perusahaan: transformasi jaringan (5G SA deployment, arsitektur RAN, edge deployment), tingkat automasi, inovasi budaya (engagement eksekutif, pendekatan ekosistem). Informasi publik digunakan untuk memastikan akurasi dan objektivitas data yang mendasari model tersebut.
Metrik tersebut secara luas dibagi menjadi dua kategori:
- Kapabilitas internal: domain yang sepenuhnya ditentukan oleh service provider, contohnya, peluncuran 5G, implementasi telco cloud, perubahan dalam organisasi dan operasional, dan lain sebagainya
- Kapabilitas eksternal: domain yang dipengaruhi oleh bagaimana service provider melakukan engage dengan mitra dan pelanggan, contohnya, layanan baru dalam komputasi edge dan ruang jaringan pribadi.
Di seluruh kawasan ini, level automasi, terutama dalam jaringan itu sendiri, sudah kuat. Hal ini merefleksikan investasi yang dikucurkan oleh service provider untuk infrastruktur jaringan selama beberapa dekade terakhir – investasi yang sekarang ingin mereka petik hasilnya melalui penggelaran 5G SA dan revenue tambahan melalui aplikasi dan layanan baru.
Menariknya, layanan edge on-premise adalah salah satu metrik dengan performa terburuk, pendekatan yang mulai dijajaki oleh enterprise namun monetisasinya masih masih berada di tahap awal. Untuk sepenuhnya mewujudkan peluang revenue B2B, ada pekerjaan tambahan yang harus dilakukan untuk memperluas penawaran edge mereka.
Engagement antara service provider dengan ekosistem ISV yang lebih luas adalah hal yang positif. Secara umum service provider sadar akan kebutuhan mereka untuk bermitra dengan ISV yang bisa menyediakan vertical expertise yang mereka tidak miliki dalam mengembangkan aplikasi khusus industri. Saat enterprise mulai mengadopsi aplikasi berbasis jaringan generasi berikutnya, sebagian besar dari pendapatan yang dihasilkan akan jatuh ke domain aplikasi, sehingga sangat penting bagi service provider untuk berpartisipasi aktif di area value chain ini.
JPC, sub-wilayah yang terdiri dari Jepang, China dan Korea, memiliki banyak operator yang sudah matang dari sudut pandang penyelenggaraan jaringan 5G, dan pasarnya secara signifikan lebih maju dibandingkan tetangganya, baik dalam kemampuan internal, maupun eksternal. Ada beberapa service provider di negara-negara ini yang sudah matang dalam penyelenggaraan jaringan 5G dan memiliki hubungan dan produk B2B yang kuat dan sudah melalui sikus komersial.
Dari sekian banyak pembelajaran yang kita bicarakan sebagai kunci untuk menjadi perusahaan “techco,” bisa kita petik dari service provider yang memiliki tenaga kerja horizontal dan agile, dikombinasikan dengan automasi tingkat tinggi di dalam jaringan, sehingga mereka berhasil mengembangkan berbagai kapabilitas itu.
Skor untuk service provider di ASEAN dan Asia Selatan, terutama dalam kapabilitas internal, menggambarkan tahap awal pengadopsian 5G di pasar-pasar tersebut, dan fokus mereka pada consumer mobile broadband. Dari penelitian STL, jelaslah bahwa masih ada peluang pertumbuhan revenue dalam penyediaan coverage ke area dan komunitas yang saat ini diabaikan oleh jaringan seluler dan fixed network, dan pelanggan akhir (baik consumer dan enterprise) yang tertinggal dalam hal kesiapan mereka mengadopsi teknologi-teknologi baru.
Langkah selanjutnya
Laporan penelitian ini, “Transitioning to techco in APAC: priorities for success” sudah ditulis oleh STL Partners dengan Red Hat dan Intel. Laporan ini menggambarkan pelajaran penting dari program tersebut, memanfaatkan insight dari APAC untuk menghasilkan langkah-langkah yang bisa ditindaklanjuti oleh service provider yang ingin mentransformasi proses mereka untuk mendapatkan aliran revenue yang baru dan mengoptimalkan marjin keuntungan.
Tags: 5G standalone, Red Hat, service provider