Mobitekno – BSA (The Software Alliance) sebagai asosiasi perdagangan produsen software global, menyampaikan bahwa Asia menjadi wilayah dengan jumlah pengguna software tidak berlisensi tertinggi dunia. Konsekuensinya, BSA akan menggelar kampanye “The Legalize & Protect” di wilayah Asia, termasuk Indonesia.
Pihak BSA yang diwakili Tarun Sawney, Senior Director BSA, menyatakan bahwa penggunaan software tidak berlisensi sangat tinggi di Asia. Iini menyebabkan tingkat kerentanan terhadap serangan siber ini wilayah ini juga tinggi, karena perlindungan dari serangan ini rendah. Oleh karen itu, BSA ingin meningkatkan kesadaran terkait pentingnya penggunaan software berlisensi di kalangan masyarakat.
“Kawasan ASEAN merupakan salah satu wilayah ekonomi paling dinamis di dunia, dimana perusahaan domestik dan multinasional kian tumbuh dan diuntungkan dengan besarnya peluang di Asia Tenggara,” ujar Tarun.
“Meski begitu, perusahaan-perusahaan dengan tujuan ambisius perlu menggunakan software yang aman dan berlisensi. Tidak ada alasan lagi untuk menggunakan software yang tidak berlisensi,” tegas Tarun.
Tidak hanya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, kampanye “The Legalize & Protect” juga bertujuan untuk mengedukasi para pimpinan perusahaan (CEO, CIO) di wilayah ASEAN untuk menggunakan software berlisensi. Setidaknya ada empat negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Filipina, dan Vietnam) yang ditargetkan BSA dalam kampanye kali ini.
Penggunaan software berlisensi mengurangi risiko perusahaan terkena infeksi malware (karena adanya update/patch berkala) yang pada akhirnya mendukung perusahaan menjadi lebih produktif.
Perusahaan yang mengalami aksi peretasan (hacking), kebocoran data, dan gangguan keamanan lainnya akibat penggunaan software ilegal juga dapat menurunkan reputasi perusahaan di mata konsumen.
Saat ini, perusahaan/organisasi menghadapi risiko terkena malware sebesar 33 persen jika mereka meng-install software tidak berlisensi atau membeli komputer dengan perangkat lunak yang tidak berlisensi di dalamnya.
Biaya yang harus ditanggung perusahaan untuk mengatasi malware (akibat penggunaan software tidak berlisensi) bisa mencapai lebih dari US$ 10.000 per PC. Kerugiannya bahkan bisa mencapai hampir US$ 359 miliar per tahun bagi perusahaan berskala global.
Adapun perusahaan yang mengadopsi pengguna software berlisensi disebut Sawney bisa melakukan penghematan biaya perlindungan jaringannya hingga 11 persen.
Menurut BSA, Indonesia yang ‘dihuni’ sepertiga jumlah PC di kawasan ASEAN hingga saat kini belum menunjukkan tanda-tanda positif terkait kesadaran penggunaan software berlisensi. Selama lima tahun belakangan (2013-2018) tingkat penggunaan software tidak berlisensi masih berada di kisaran 83 persen.
Dampaknya kerugian material bagi produsen juga cukup signifikan. Pada 2017 saja BSA memperkirakan kerugiannya dapat mencapai US$ 1.095 juta (sekitar Rp 15,5 triliun).
BSA tentunya tidak akan dapat menyelesaikan masalah ini secara sendirian. Dibutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dengan pemerintah, seperti yang dilakukannya pada kampanye “The Legalize & Protect” kali ini.
Anang Pratama W, Kasubdit Pencegahan & Penyelesaian Sengketa Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa, DJKI, Kemenkumham RI, menyatakan bahwa upaya penegakan hukum terkait penggunaan software tanpa lisensi juga harus didukung oleh masyarakat dan pencipta software tersebut.
“Tanpa aduan dari masyarakat serta tanpa dokumentasi resmi terkait produk software dari kreator akan mempersulit pihak berwenang mendapat bukti sebagai landasan dalam melakukan upaya penegakan hukum’, ujar Anang.
“Regulasi penegakan hukum penggunaan software bajakan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Hak Cipta (No. 28 tahun 2014). Jadi, pencipta software perlu mencatat dan melaporkan produk untuk hak cipta ini,” tambah Anang.
Tags: BSA, Kemenkumham, software bajakan, software lisensi, The Legalize & Protect