October 19, 2018

Revisi PP 82 Tahun 2012 Soal Data Center: Apakah Pemerintah Plinplan Soal Kedaulatan Data?

Penulis: Iwan RS
Revisi PP 82 Tahun 2012 Soal Data Center: Apakah Pemerintah Plinplan Soal Kedaulatan Data?  

Mobitekno – Isu yang berkembang sejak tahun lalu mengenai rencana pemerintah melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) kembali dipertanyakan para pelaku bisnis data center di Indonesia.

Seperti diketahui, draft revisi PP 82 tahun 2012 akan membuat kewajiban bagi perusahaan asing dan lokal untuk menyimpan data terkait bisnis dan pelanggan pada data center di Indonesia menjadi lebih fleksibel atau longgar.

Lebih rincinya adalah pada Pasal 17 yang sebelumnya berbunyi; “Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya”.

Adapun dengan draft revisi nanti, beleid (kebijakan) itu kemungkinana akan diubah sehingga tidak lagi mewajibkan penyelenggara untuk menempatkan data centernya di Indonesia.

Para pebisnis data center yang tergabung dalam IDPRO (Indonesia Data Center Provider Organization) ini mengkhawatirkan apabila revisi PP 82 tahun 2012 (termasuk perubahan Pasal 17) ini akan disahkan pemerintah, dampaknya bukan hanya dirasakan para pelaku data center lokal sendiri tapi juga bagi Indonesia yang sudah seharusnya menjunjung tinggi nilai-nlai kedaulatan data (data sovereignty) bagi warga negaranya.

Kedaultan Data

Rencananya, revisi PP 82 Tahun 2012 akan membagi data menjadi tiga klasifikasi, yaitu strategis, penting (risiko tinggi), dan biasa (risiko rendah). Menurut Teddy Sukardi, Sekjen IDPRO, pembagian ini justru akan membuat aturan ini menjadi tidak efektif terkait dengan kedaulatan data.

“Klasifikasi yang diamankan itu yang strategis, dan ini masih sesuatu yang tidak jelas. Namanya strategis seperti apa, karena strategis atau tidaknya, ditentukan lagi oleh sektor-sektor. Jadi satu area yang masih mengkhawatirkan,” ujar Teddy saat berbicara dengan media di Jakarta baru-baru ini (18/10/2018).

Bahkan lanjut Teddy, data yang diklasifikasikan strategis pun masih dibagi menjadi 3 kategori, data strategis tingkat tinggi, menengah, dan rendah. Dari ketiga kategori data strategis itu, hanya yang tingkat tinggi wajib hukumnya di letakkan di Indonesia.

“Apabila revisi ini akhirnya jadi disahkan oleh pemerintah, konsekuensinya para perusahaan (asing) yang berbisnis di Indonesai dengan layanan digitalnya menjadi tidak wajib lagi menggunakan data center di Indonesia. Artinya, ada dampak ekonomi (kerugian) bagi ekonomi Indonesai,” tambah Teddy.

Pemerintah selama ini cukup gencar mengkampanyekan UU Perlindungan Data Pribadi yang sudah pasti akan saling berkomplemen dengan penegakkan peraturan kedaulatan data yang berasal dari rakyat Indonesia. Adanya revisi PP 82 ini tentunya dapat membuat visi dari UU Perlindungan Data Pribadi mundur ke belakang.

Pemerintah pasti paham bahwa di era data digital saat ini, makna ‘Data is The New Gold’ bukanlah sekadar isapan jempol. Apabila pemerintah belum menyiapkan mekanisme pemilahan kategori data yang komprehensif dan disepakati semua pihak, adalah baiknya jika PP 82 tahun 2012 ini jangan terburu-buru direvisi untuk menyenangkan (menguntungkan) beberapa pihak saja.

‘Tuntutlah Ilmu Sampai Ke Negeri China’. Kita seharusnya bisa belajar banyak dari langkah-lanngkah pemerintah Cina yang sangat menjunjung tinggi kadaulatan data warga negaranya terlebih jika berkaitan langsung dengan perusahaan asing yang berbisnis di negaranya.

Tags: , , , , , ,


COMMENTS